selamat merayakan hari raya Natal 25 desember 2010
dan tahun baru 01 januari 2011,,,,
semoga natal dan tahun baru...
membawa sukacita dan harapan yang baru....
salam dan doa....
Rabu, 22 Desember 2010
Selasa, 21 Desember 2010
Senin, 20 Desember 2010
parmalim
Parmalim berasal dari kata malim yang memiliki dua arti yaitu: malim sebagai sifat dasar yang dituju yang berawal dari haiason dan parsolamon, dimana haiason diartikan dengan kebersihan fisik dan parsolamon diartikan dengan membatasi diri dari kenikmatan dan tindakan, kedua adalah malim sebagai sosok pribadi. Parmalim sendiri dapat diartikan dengan orang yang mengikuti ajaran malim, dimana pengikutnya harus memiliki sifat yang bersih atau suci baik fisik maupun rohani, serta dapat membatasi diri dari kenikmatan yang bersifat duniawi. Bentuk penghayatan dari kepercayaan Parmalim dahulunya hanya berbentuk upacara biasa saja dan belum disebut sebagai kepercayaan Parmalim tetapi disebut sebagai Ugamo Malim pada masyarakat Batak dan inti ajarannya berpegang pada adat istiadat Batak, lama-kelamaan kepercayaan ini mulai berkembang seiring dengan bertambahnya pengikut kepercayaan ini.
Parmalim lebih merujuk kepada pribadi orang yang menganut agama lokal. Bagi komunitas pemeluknya, agama ini disebut dengan Ugamo Malim. Tetapi parmalim sebagai identitas pribadi lebih populer daripada Ugamo Malim. Menurut Monang Naipospos, kata ugamo memiliki makna yang tidak bisa disepadankan dengan agama. Ugamo harus dimengerti dalam konteks tiga bagian penting tradisi Batak.
1. Ugahari : pengaturan hubungan sosial kemasyarakatan.
2. Ugasan : pengaturan kepemilikan (mana yang menjadi milik komunal dan mana yang bisa di miliki secara pribadi).
3. Ugamo : pengaturan hubungan manusia dengan Tuhan.
Komunitas ini mengenal Tuhan YME yang disebutnya sebagai Debata Mulajadi Nabolon. Debata Mulajadi Nabolon ini menciptakan Debata Natolu (Debata yang tiga) yang terdiri dari dewa Bataraguru yang memegang otoritas dalam perkara uhum (hukum) dan harajaon (kerajaan/kepemimpinan), dewa Sorisohaliapan yang berkuasa atas ajaran hamalimon (keagamaan/nilai-nilai kebaikan), dan dewa Balabulan yang bertugas memberikan penerangan dan peramalan (panurirangon), pengobatan/ketabiban (hadatuon) dan kekuatan (hagogon) kepada manusia. Selain itu ada dewa lain yang wajib disembah yaitu Siboru Deakparujar, Nagapadohaniaji, dan Siboru Saniangnaga.
Komunitas religius Parmalim diwajibkan mengimani empat raja yang diyakini diutus kepada manusia batak yaitu Raja Uti, Tuan Simarimbulubosi, Raja Sisingamangaraja dan Raja Nasiakbagi. Mereka bukan hanya dalam pengertian pemimpin politik tetapi juga pemimpin spiritual.
Ugamo, ugahari dan ugasan seharusnya dipahami dan dipraktikkan sebagai suatu kesatuan, namun ugamo (malim) mulai muncul relatif terpisah dari dua komponen sistem nilai lainnya ketika masyarakat batak dihadapkan pada ancaman kepunahan tradisi karena hadirnya para penginjil (zending mission) dan pemerintah kolonial Belanda. Di antara kelompok penginjil yang paling sukses menuai keberhasilan ditanah batak adalah Rheinische Missions- Gessellchaft (RMG) dari Jerman yang kemudian berkembang menjadi HKBP (Huria Kristen Batak Protestan). Dalam konteks inilah Ugamo Malim kemudian muncul sebagai perlawanan terhadap dominasi Kristen sekaligus terhadap penjajahan kolonial Belanda.
Munculnya ajaran parmalim dilihat dari dua versi yang berbeda. Awal kemunculan ajaran parmalim dikobarkan oleh Guru Somalaing. Pemuka angkatan perang Si Singamangaraja XII disebut mengembangkan ajaran lokal batak tersebut dengan unsur-unsur baru yang diperolehnya dari pergaulan dengan orang asing (terutama petualang Italia, Modigliani). Di sisi lain ada versi yang mengatakan bahwa ajaran parmalim diwarisi bukan dari Guru Somalaing melainkan dari Si Singamangaraja yang kemudian memberi perintah langsung kepada Raja Mulia Naipospos untuk menjaganya dari pengaruh Kristen. Ternyata perbedaan tentang Parmalim tidak hanya terkait dengan sejarah kemunculan ajarannya melainkan juga sejarah perkembangan, afiliasi, dan pengorganisasiannya.
Komunitas-komunitas yang mengklaim Parmalim itu tersebar mulai dari Aceh Tengah di sebelah utara, Asahan di sebelah timur dan Barus sebelah Barat. Beberapa komunitas itu bahkan saling bertentangan satu sama lain karena perbedaan kepentingan politik. Diantara sekian komunitas yang mengklaim dirinya sebagai Pamalim itu berpusat di Huta Tinggi, Laguboti, Kabupaten Toba Samosir. Komunitas inilah yang meyakini bahwa Raja Mulia Naipospos-lah yang pertama kali menyebarkan ajaran Parmalim sesuai perintah Si Singamangaraja XII.
Dalam surat-surat resminya, komunitas Parmalim menyebut dirinya sebagai Punguan Parmalim Bale Partonggoan Huta Tinggi Laguboti. Dalam sejarah organisasinya, Raja Mulia Naipospos adalah ihutan Parmalim pertama bagi komunitas Parmalim Bale Partonggoan Huta Tinggi. Ihutan Parmalim adalah sebutan untuk pemimpin tertinggi komunitas ini.
Posisi Ihutan Parmalim sudah dipegang oleh tiga generasi pemimpin dengan Raja Marnakkok Naipospos sebagai Ihutan Parmalim terakhir yang menggantikan ayahnya, Raja Ungkap Naipospos. Seorang Ihutan Parmalim bertugas memimpin upacara-upacara penting komunitas seperti sipaha sada (upacara peringatan kelahiran Tuhan Simarumbulusi pada bulan pertama kalender batak) dan sipaha lima (upacara persembahan palean Kurban pada bulan kelima kalender batak), serta marari sabtu (ibadat rutin di hari sabtu).
Adapun peraturan-peraturan yang ada di dalam Parmalim yaitu para pengikutnya dilarang berdusta, berjinah dan mencemari agama mereka, dalam setiap pelanggarannya akan ada sanksi-sanksi tertentu bagi orang yang melanggar peraturan agama tersebut, salah satu hukumannya yaitu pemberian peringatan kepada si pelaku dan membuat suatu upacara tersendiri untuk menebus kesalahannya, upacara ini haruslah berupa persembahan seekor ayam dan diiringi oleh gondang sabangunan. Ciri khas dari pengikut Parmalim yaitu adanya bane-bane yang diikat bersama jeruk kecil dan bonang manalu atau bonang Batak dan diletakkan di atas pintu atau di suatu tempat yang dapat terlihat oleh orang lain. Adapun adat yang menjadi pedoman bagi perilaku pengikut Parmalim yaitu :
1. Marari Sabtu
Di mana seluruh pengikut Parmalim di manapun mereka berada haruslah melaksanakan perkumpulan setiap hari Sabtunya dan dilaksanakan di setiap cabang atau rumah parsantian, dalam perkumpulan ini para pengikut parmalim akan diberi poda atau bimbingan untuk lebih tekun dalam menghayati ajaran kepercayaan Parmalim.
2. Martutuaek
Upacara yang dilakukan di rumah umat karena mendapat karunia kelahiran seorang anak ataupun pemberian nama pada anak. Dimana seorang anak yang baru lahir haruslah terlebih dahulu diperkenalkan dengan bumi terutama air yaitu umbul mata air disertai dengan bara api tempat membakar dupa.
3. Mardebata
Upacara yang dilakukan secara individual untuk meminta ampunan atas penyimpangan yang dilakukan dari aturan ajaran kepercayaannya.
4. Pasahat Tondi
Upacara yang dilakukan pada umat yang mengalami duka atau meninggal dunia. Dimana setelah satu bulan pemakaman maka dilakukanlah upacara pasahat tondi atau menghantar roh, dalam upacara ini biasanya dilakukan doa saja, bisa dilakukan dengan sederhana atau besar tergantung pada kemampuan keluarga yang mengalami kemalangan.
5. Mangan Napaet
Upacara berpuasa untuk menebus dosa dan dilaksanakan selama 24 jam penuh pada setiap penghujung tahun kalender batak yaitu pada ari hurung bulan hurung, upacara ini juga dilaksanakan di Bale Partonggoan dan dihadiri oleh seluruh umat Parmalim. Setelah berpuasa selama 24 jam maka tepat tengah hari pukul 12.00 sebelum berbuka dilaksanakanlah mangan napaet, lalu dilakukan perkumpulan di dalam Bale Partonggoan dan dipimpin oleh Ihutan.
Meski berpusat di sebuah dusun kecil Huta Tinggi, namun komunitas pengikut Ugamo malim yang sebagian besar merupakan warga keturunan batak toba dengan daerah asal sekitar Toba habinsaran. Pada tahun 2005 terdapat 36 punguan di seluruh indonesia. Lima tahun sebelumnya, jumlah Punguan Masih 30 dan 4 pungun lainnya masih belum diresmikan (Maruli Tua Siahaan 1995). Menurut Monang Naipospos, diperkirakan terdapat 5000 kepala keluarga penganut Parmalim diseluruh wilayah indonesia. Penyebaran ini erat terkait dengan semangat Manombang, yaitu semangat merantau untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Manombang ini sendiri ditopang oleh pandangan hidup komunitas yang mendorong penerimaan terhadap perkembangan jaman yang baru, asalkan tidak mengorbankan nilai-nilai spritual Batak.
Sikap terbuka terhadap nilai-nilai baru itu yang tampaknya mendorong komunitas ini untuk bisa mengambil posisi harmonis dengan unsur baru semacam negara dan nasionalisme. Alih-alih larut dalam hiruk pikuk politik etnis/tribal hasil liberalisasi politik pasca perang (pemilu 1955), komunitas parmalim memilih merapat pada kekuatan-kekuatan nasionalisme dan pemerintahan republik yang berpusat di Jakarta.
Penerimaan sepenuh hati komunitas Parmalim terhadap keberadaan negara itu ternyata tidak mendapatkan balasan yang setimpal. Negara acapkali tidak tegas melarang praktik-praktik diskriminasi terhadap komunitas ini. Bahkan dalam banyak kasus, negara justru tampil sebagai pihak yang memfasilitasi dan mensponsori terjadinya praktik diskriminasi. Diskriminasi meluas diberbagai aspek kehidupan, yang membuatnya menjadi persoalan multidimensional.
Persoalan multidimensional itu diurai dengan menyingkap pengakuan negara yang setengah hati kepada komunitas ini. Sertifikat inventarisasi yang diberikan negara lewat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan kepada komunitas Parmalim memang memberikan kepastian hukum atas bentuk organisasinya, tetapi pada saat bersamaan sertifikat ini juga cenderung membatasi gerak komunitas ini. Lewat sertifikat tersebut, keberadaan organisasi Parmalim yang secara eksplisit berada dibawah Departemen pendidikan dan kebudayaan membuat komunitas ditempatkan hanya sebagai salah satu unsur kebudayan nasional bukan agama.
Dalam data statistik pemerintah tentang komunitas-komunitas religius, eksistensi komunitas Parmalim di nihilkan. Data-data statistik pemerintah propinsi Sumatera Utara belum pernah menuliskan mereka dalam angka. Penghapusan eksistensi komunitas parmalim dalam data-data resmi yang menjadi rujukan kebijakan membuat aksi penghapusan ini berjalan sistematis. Akibatnya, keberadaan mereka tidak sekedar ditindas dalam angka, tetapi juga dalam perdebatan publik mulai dari dalam pemerintah, masyarakat dan institusi-institusi produsen pengetahuan seperti universitas. Kalaupun eksistensi komunitas ini masih mendapat pengakuan publik, eksistensi mereka dimunculkan sebagai representase keterbelakangan.
Pengakuan bukan sebagai agama kemudian menimbulkan persoalan lain yang lebih pelik. Ritual ajaran Ugamo Malim tidak memiliki makna di depan hukum, sehingga segala upacara yang dilakukan dengan ritual itu tidak memiliki kekuatan hukum, termasuk dalam perkawinan. Tak tercatatnya perkawinan mereka dalam dokumen resmi negara melahirkan konsekuensi lanjutan, surat bukti kewarganegaraan seperti akte kelahiran menjadi sesuatu yang mahal dan eksklusif bagi anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan seperti ini. Bagi warga Parmalim yang bekerja sebagai pegawai negeri atau karyawan swasta, absennya surat nikah dan akte kelahiran ini membuat mereka tidak bisa memperoleh tunjangan anak atau istri.
Ketika beranjak dewasa, persoalan yang dihadapi anak-anak dari keluarga Parmalim akibat identitas religius mereka, terus bersambung. Dibandingkan anak-anak muda lainnya anak-anak muda Parmalim memiliki pilihan pekerjaan yang lebih terbatas. Bila anak-anak muda lainnya bisa memilih bekerja di sektor swasta atau pemerintah, anak-anak muda komunitas ini biasanya hanya fokus mencari pekerjaan di sektor swasta. Beberapa warga Parmalim yang ditemui mengatakan bahwa penggolongan keyakinan mereka sebagai kepercayaan (bukan agama) mempersulit mereka mendapatkan akses yang sama dalam perebutan posisi PNS.
Meski bisa menjalani kehidupan yang relatif tidak bergantung pada negara, warga Parmalim tetap merupakan komunitas religius yang membutuhkan pengakuan publik lebih luas terhadap identitas dan haknya sebagai sebuah komunitas. Terutama bila menyangkut kebutuhan akan ruang fisik untuk tempat ibadah yang aman dan nyaman sebagai konsekuensi perkembangan komunitasnya di tengah keterbatasan dan pluralitas ruang perkotaan, seperti yang dirasakan oleh komunitas Parmalim punguan Medan.
Anthony F. C. Wallace (dalam William A.Haviland 1988;195 - 196) yang mendefinisikan agama sebagai seperangkat upacara yang diberi rasionalisasi mitos yang menggerakkan kekuatan-kekuatan supernatural dengan maksud untuk mencapai atau untuk menghindarkan sesuatu perubahan keadaan manusia atau alam, dimana fungsi upacara keagamaan yang utama adalah untuk mengurangi kegelisahan dan untuk memantapkan kepercayaan kepada diri sendiri, yang penting untuk memelihara keadaan manusia agar tetap siap untuk menghadapi realitas.
Parahnya, kebutuhan akan ruang fisik untuk beribadah yang sudah dirasakan lebih dari satu dekade itu tidak cukup mendapat respon positif dari negara maupun masyarakat sekitar. Karena alasan keterbatasan pengakuan negara, stigma keterbelakangan dan kesan paganisme yang dilekatkan secara kuat pada komunitas ini. Dalam konteks ini alih-alih melindungi kelompok minoritas yang berani mempertaruhkan tertib sosial dengan meminta pemenuhan hak komunitas seperti tempat ibadah. Tak jarang cap kriminal dan pengacau keamanan dilekatkan pada komunitas minoritas Parmalim atas keberanian mereka mengharap berdirinya Bale Parsaktian (tempat ibadah Parmalim).
Persoalan yang dihadapi komunitas ini membuat Raja Marnakkok menilai diskriminasi zaman mutakhir tak ada bedanya dengan masa kolonialisme yang ditentang oleh para pendahulunya. ”Dulu fisik yang sakti, sekarang secara politik”
Raja Ungkap memberi ungkapan : Seandainya semut mati dipijak gajah, tidak dapat dikatakan gajah pemenang. Bila gajah sama gajah bertempur, satu mati, maka yang hidup itulah pemenang. Pengertian ini cukup memberikan dorongan kepada pengikut Parmalim untuk tetap bertahan dalam alam penderitaan yang tidak diinginkan itu sebagai inti pengamalan pengajaran Hamalimon untuk bersikap dalam HASEREPON. Hingga Indonesia merdeka, masih banyak pernyataan dari orang batak sendiri yang menyatakan mahwa Parmalim nalilu (sesat), na so maradat (tidak memiliki etika) dan sipele begu (penyembah berhala). Ternyata sampai saat ini pernyataan itu masih ada. Berdasarkan itu pula masyarakat batak Kristen di jalan Air Bersih Ujung Medan menolak ketika Parmalim hendak mendirikan Parsantian tempat bagi mereka berteduh dengan nyaman dan tenang menyembah kepada Mulajadi Nabolon. Leluhur Parmalim sudah sering terpenjara karena berjuang, karena fitnah dan karena kepentingan kebesaran dan kekuasaan. Walau Parmalim sangat mendambakan kemerdekaan (manjujung baringinna) tidak serta merta menikmati kemerdekaan itu. Parmalim dijajah dan ditindas dinegeri sendiri oleh saudara sendiri. Sudah sejak lama Parmalim menerima ajaran HASEREPON dan HABENGETON untuk tidak sakit hati mendengar semua fitnah yang dilontarkan orang lain. Itulah sebabnya Parmalim tidak pernah menjawab semua tudingan yang dilontarkan kepada mereka dari orang yang mengandalkan kekuasaan dan kebesaran dan yang merasa paling benar dan di jalan Tuhan.
Parmalim memiliki keyakinan bahwa para leluhur tidak ada yang terpenjara dan tertindas karena mencuri, membunuh, memfitnah, menipu, berjinah yang semuanya melanggar etika Hamalimon. Mereka dipenjara dan difitnah atas kebenaran yang diyakini karena menyembah kepada Mulajadi Nabolon yang mereka sebut Debata dan Tuhan tertinggi. Walau Parmalim salama kemerdekaan masih terpenjara dalam arti bukan fisik, harus tetap berpedoman bahwa itu semua terjadi bukan berdasarkan kejahatan. Mereka senatiasa harus berpegang teguh kepada pesan leluhur untuk tidak membalas tindak kebodohan dengan cara bodoh, tindak kejahatan dengan cara yang jahat, fitnah dengan cara memfitnah. Parmalim mendorong untuk cerdas dalam berpikir melalui pemahaman akan ajaran-ajaran dan menyeimbangkan intelektual melalui pendidikan. Dan sudah dilakukan sejak tahun 1939 saat Parmalim mendirikan Parmalim School. Pemikiran parmalim berkembang, sementara pembodohan dan kebodohan masih berkutat sampai sekarang yang mengklaim Parmalim sesat dan tidak diberi ruang.
Parmalim lebih merujuk kepada pribadi orang yang menganut agama lokal. Bagi komunitas pemeluknya, agama ini disebut dengan Ugamo Malim. Tetapi parmalim sebagai identitas pribadi lebih populer daripada Ugamo Malim. Menurut Monang Naipospos, kata ugamo memiliki makna yang tidak bisa disepadankan dengan agama. Ugamo harus dimengerti dalam konteks tiga bagian penting tradisi Batak.
1. Ugahari : pengaturan hubungan sosial kemasyarakatan.
2. Ugasan : pengaturan kepemilikan (mana yang menjadi milik komunal dan mana yang bisa di miliki secara pribadi).
3. Ugamo : pengaturan hubungan manusia dengan Tuhan.
Komunitas ini mengenal Tuhan YME yang disebutnya sebagai Debata Mulajadi Nabolon. Debata Mulajadi Nabolon ini menciptakan Debata Natolu (Debata yang tiga) yang terdiri dari dewa Bataraguru yang memegang otoritas dalam perkara uhum (hukum) dan harajaon (kerajaan/kepemimpinan), dewa Sorisohaliapan yang berkuasa atas ajaran hamalimon (keagamaan/nilai-nilai kebaikan), dan dewa Balabulan yang bertugas memberikan penerangan dan peramalan (panurirangon), pengobatan/ketabiban (hadatuon) dan kekuatan (hagogon) kepada manusia. Selain itu ada dewa lain yang wajib disembah yaitu Siboru Deakparujar, Nagapadohaniaji, dan Siboru Saniangnaga.
Komunitas religius Parmalim diwajibkan mengimani empat raja yang diyakini diutus kepada manusia batak yaitu Raja Uti, Tuan Simarimbulubosi, Raja Sisingamangaraja dan Raja Nasiakbagi. Mereka bukan hanya dalam pengertian pemimpin politik tetapi juga pemimpin spiritual.
Ugamo, ugahari dan ugasan seharusnya dipahami dan dipraktikkan sebagai suatu kesatuan, namun ugamo (malim) mulai muncul relatif terpisah dari dua komponen sistem nilai lainnya ketika masyarakat batak dihadapkan pada ancaman kepunahan tradisi karena hadirnya para penginjil (zending mission) dan pemerintah kolonial Belanda. Di antara kelompok penginjil yang paling sukses menuai keberhasilan ditanah batak adalah Rheinische Missions- Gessellchaft (RMG) dari Jerman yang kemudian berkembang menjadi HKBP (Huria Kristen Batak Protestan). Dalam konteks inilah Ugamo Malim kemudian muncul sebagai perlawanan terhadap dominasi Kristen sekaligus terhadap penjajahan kolonial Belanda.
Munculnya ajaran parmalim dilihat dari dua versi yang berbeda. Awal kemunculan ajaran parmalim dikobarkan oleh Guru Somalaing. Pemuka angkatan perang Si Singamangaraja XII disebut mengembangkan ajaran lokal batak tersebut dengan unsur-unsur baru yang diperolehnya dari pergaulan dengan orang asing (terutama petualang Italia, Modigliani). Di sisi lain ada versi yang mengatakan bahwa ajaran parmalim diwarisi bukan dari Guru Somalaing melainkan dari Si Singamangaraja yang kemudian memberi perintah langsung kepada Raja Mulia Naipospos untuk menjaganya dari pengaruh Kristen. Ternyata perbedaan tentang Parmalim tidak hanya terkait dengan sejarah kemunculan ajarannya melainkan juga sejarah perkembangan, afiliasi, dan pengorganisasiannya.
Komunitas-komunitas yang mengklaim Parmalim itu tersebar mulai dari Aceh Tengah di sebelah utara, Asahan di sebelah timur dan Barus sebelah Barat. Beberapa komunitas itu bahkan saling bertentangan satu sama lain karena perbedaan kepentingan politik. Diantara sekian komunitas yang mengklaim dirinya sebagai Pamalim itu berpusat di Huta Tinggi, Laguboti, Kabupaten Toba Samosir. Komunitas inilah yang meyakini bahwa Raja Mulia Naipospos-lah yang pertama kali menyebarkan ajaran Parmalim sesuai perintah Si Singamangaraja XII.
Dalam surat-surat resminya, komunitas Parmalim menyebut dirinya sebagai Punguan Parmalim Bale Partonggoan Huta Tinggi Laguboti. Dalam sejarah organisasinya, Raja Mulia Naipospos adalah ihutan Parmalim pertama bagi komunitas Parmalim Bale Partonggoan Huta Tinggi. Ihutan Parmalim adalah sebutan untuk pemimpin tertinggi komunitas ini.
Posisi Ihutan Parmalim sudah dipegang oleh tiga generasi pemimpin dengan Raja Marnakkok Naipospos sebagai Ihutan Parmalim terakhir yang menggantikan ayahnya, Raja Ungkap Naipospos. Seorang Ihutan Parmalim bertugas memimpin upacara-upacara penting komunitas seperti sipaha sada (upacara peringatan kelahiran Tuhan Simarumbulusi pada bulan pertama kalender batak) dan sipaha lima (upacara persembahan palean Kurban pada bulan kelima kalender batak), serta marari sabtu (ibadat rutin di hari sabtu).
Adapun peraturan-peraturan yang ada di dalam Parmalim yaitu para pengikutnya dilarang berdusta, berjinah dan mencemari agama mereka, dalam setiap pelanggarannya akan ada sanksi-sanksi tertentu bagi orang yang melanggar peraturan agama tersebut, salah satu hukumannya yaitu pemberian peringatan kepada si pelaku dan membuat suatu upacara tersendiri untuk menebus kesalahannya, upacara ini haruslah berupa persembahan seekor ayam dan diiringi oleh gondang sabangunan. Ciri khas dari pengikut Parmalim yaitu adanya bane-bane yang diikat bersama jeruk kecil dan bonang manalu atau bonang Batak dan diletakkan di atas pintu atau di suatu tempat yang dapat terlihat oleh orang lain. Adapun adat yang menjadi pedoman bagi perilaku pengikut Parmalim yaitu :
1. Marari Sabtu
Di mana seluruh pengikut Parmalim di manapun mereka berada haruslah melaksanakan perkumpulan setiap hari Sabtunya dan dilaksanakan di setiap cabang atau rumah parsantian, dalam perkumpulan ini para pengikut parmalim akan diberi poda atau bimbingan untuk lebih tekun dalam menghayati ajaran kepercayaan Parmalim.
2. Martutuaek
Upacara yang dilakukan di rumah umat karena mendapat karunia kelahiran seorang anak ataupun pemberian nama pada anak. Dimana seorang anak yang baru lahir haruslah terlebih dahulu diperkenalkan dengan bumi terutama air yaitu umbul mata air disertai dengan bara api tempat membakar dupa.
3. Mardebata
Upacara yang dilakukan secara individual untuk meminta ampunan atas penyimpangan yang dilakukan dari aturan ajaran kepercayaannya.
4. Pasahat Tondi
Upacara yang dilakukan pada umat yang mengalami duka atau meninggal dunia. Dimana setelah satu bulan pemakaman maka dilakukanlah upacara pasahat tondi atau menghantar roh, dalam upacara ini biasanya dilakukan doa saja, bisa dilakukan dengan sederhana atau besar tergantung pada kemampuan keluarga yang mengalami kemalangan.
5. Mangan Napaet
Upacara berpuasa untuk menebus dosa dan dilaksanakan selama 24 jam penuh pada setiap penghujung tahun kalender batak yaitu pada ari hurung bulan hurung, upacara ini juga dilaksanakan di Bale Partonggoan dan dihadiri oleh seluruh umat Parmalim. Setelah berpuasa selama 24 jam maka tepat tengah hari pukul 12.00 sebelum berbuka dilaksanakanlah mangan napaet, lalu dilakukan perkumpulan di dalam Bale Partonggoan dan dipimpin oleh Ihutan.
Meski berpusat di sebuah dusun kecil Huta Tinggi, namun komunitas pengikut Ugamo malim yang sebagian besar merupakan warga keturunan batak toba dengan daerah asal sekitar Toba habinsaran. Pada tahun 2005 terdapat 36 punguan di seluruh indonesia. Lima tahun sebelumnya, jumlah Punguan Masih 30 dan 4 pungun lainnya masih belum diresmikan (Maruli Tua Siahaan 1995). Menurut Monang Naipospos, diperkirakan terdapat 5000 kepala keluarga penganut Parmalim diseluruh wilayah indonesia. Penyebaran ini erat terkait dengan semangat Manombang, yaitu semangat merantau untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Manombang ini sendiri ditopang oleh pandangan hidup komunitas yang mendorong penerimaan terhadap perkembangan jaman yang baru, asalkan tidak mengorbankan nilai-nilai spritual Batak.
Sikap terbuka terhadap nilai-nilai baru itu yang tampaknya mendorong komunitas ini untuk bisa mengambil posisi harmonis dengan unsur baru semacam negara dan nasionalisme. Alih-alih larut dalam hiruk pikuk politik etnis/tribal hasil liberalisasi politik pasca perang (pemilu 1955), komunitas parmalim memilih merapat pada kekuatan-kekuatan nasionalisme dan pemerintahan republik yang berpusat di Jakarta.
Penerimaan sepenuh hati komunitas Parmalim terhadap keberadaan negara itu ternyata tidak mendapatkan balasan yang setimpal. Negara acapkali tidak tegas melarang praktik-praktik diskriminasi terhadap komunitas ini. Bahkan dalam banyak kasus, negara justru tampil sebagai pihak yang memfasilitasi dan mensponsori terjadinya praktik diskriminasi. Diskriminasi meluas diberbagai aspek kehidupan, yang membuatnya menjadi persoalan multidimensional.
Persoalan multidimensional itu diurai dengan menyingkap pengakuan negara yang setengah hati kepada komunitas ini. Sertifikat inventarisasi yang diberikan negara lewat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan kepada komunitas Parmalim memang memberikan kepastian hukum atas bentuk organisasinya, tetapi pada saat bersamaan sertifikat ini juga cenderung membatasi gerak komunitas ini. Lewat sertifikat tersebut, keberadaan organisasi Parmalim yang secara eksplisit berada dibawah Departemen pendidikan dan kebudayaan membuat komunitas ditempatkan hanya sebagai salah satu unsur kebudayan nasional bukan agama.
Dalam data statistik pemerintah tentang komunitas-komunitas religius, eksistensi komunitas Parmalim di nihilkan. Data-data statistik pemerintah propinsi Sumatera Utara belum pernah menuliskan mereka dalam angka. Penghapusan eksistensi komunitas parmalim dalam data-data resmi yang menjadi rujukan kebijakan membuat aksi penghapusan ini berjalan sistematis. Akibatnya, keberadaan mereka tidak sekedar ditindas dalam angka, tetapi juga dalam perdebatan publik mulai dari dalam pemerintah, masyarakat dan institusi-institusi produsen pengetahuan seperti universitas. Kalaupun eksistensi komunitas ini masih mendapat pengakuan publik, eksistensi mereka dimunculkan sebagai representase keterbelakangan.
Pengakuan bukan sebagai agama kemudian menimbulkan persoalan lain yang lebih pelik. Ritual ajaran Ugamo Malim tidak memiliki makna di depan hukum, sehingga segala upacara yang dilakukan dengan ritual itu tidak memiliki kekuatan hukum, termasuk dalam perkawinan. Tak tercatatnya perkawinan mereka dalam dokumen resmi negara melahirkan konsekuensi lanjutan, surat bukti kewarganegaraan seperti akte kelahiran menjadi sesuatu yang mahal dan eksklusif bagi anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan seperti ini. Bagi warga Parmalim yang bekerja sebagai pegawai negeri atau karyawan swasta, absennya surat nikah dan akte kelahiran ini membuat mereka tidak bisa memperoleh tunjangan anak atau istri.
Ketika beranjak dewasa, persoalan yang dihadapi anak-anak dari keluarga Parmalim akibat identitas religius mereka, terus bersambung. Dibandingkan anak-anak muda lainnya anak-anak muda Parmalim memiliki pilihan pekerjaan yang lebih terbatas. Bila anak-anak muda lainnya bisa memilih bekerja di sektor swasta atau pemerintah, anak-anak muda komunitas ini biasanya hanya fokus mencari pekerjaan di sektor swasta. Beberapa warga Parmalim yang ditemui mengatakan bahwa penggolongan keyakinan mereka sebagai kepercayaan (bukan agama) mempersulit mereka mendapatkan akses yang sama dalam perebutan posisi PNS.
Meski bisa menjalani kehidupan yang relatif tidak bergantung pada negara, warga Parmalim tetap merupakan komunitas religius yang membutuhkan pengakuan publik lebih luas terhadap identitas dan haknya sebagai sebuah komunitas. Terutama bila menyangkut kebutuhan akan ruang fisik untuk tempat ibadah yang aman dan nyaman sebagai konsekuensi perkembangan komunitasnya di tengah keterbatasan dan pluralitas ruang perkotaan, seperti yang dirasakan oleh komunitas Parmalim punguan Medan.
Anthony F. C. Wallace (dalam William A.Haviland 1988;195 - 196) yang mendefinisikan agama sebagai seperangkat upacara yang diberi rasionalisasi mitos yang menggerakkan kekuatan-kekuatan supernatural dengan maksud untuk mencapai atau untuk menghindarkan sesuatu perubahan keadaan manusia atau alam, dimana fungsi upacara keagamaan yang utama adalah untuk mengurangi kegelisahan dan untuk memantapkan kepercayaan kepada diri sendiri, yang penting untuk memelihara keadaan manusia agar tetap siap untuk menghadapi realitas.
Parahnya, kebutuhan akan ruang fisik untuk beribadah yang sudah dirasakan lebih dari satu dekade itu tidak cukup mendapat respon positif dari negara maupun masyarakat sekitar. Karena alasan keterbatasan pengakuan negara, stigma keterbelakangan dan kesan paganisme yang dilekatkan secara kuat pada komunitas ini. Dalam konteks ini alih-alih melindungi kelompok minoritas yang berani mempertaruhkan tertib sosial dengan meminta pemenuhan hak komunitas seperti tempat ibadah. Tak jarang cap kriminal dan pengacau keamanan dilekatkan pada komunitas minoritas Parmalim atas keberanian mereka mengharap berdirinya Bale Parsaktian (tempat ibadah Parmalim).
Persoalan yang dihadapi komunitas ini membuat Raja Marnakkok menilai diskriminasi zaman mutakhir tak ada bedanya dengan masa kolonialisme yang ditentang oleh para pendahulunya. ”Dulu fisik yang sakti, sekarang secara politik”
Raja Ungkap memberi ungkapan : Seandainya semut mati dipijak gajah, tidak dapat dikatakan gajah pemenang. Bila gajah sama gajah bertempur, satu mati, maka yang hidup itulah pemenang. Pengertian ini cukup memberikan dorongan kepada pengikut Parmalim untuk tetap bertahan dalam alam penderitaan yang tidak diinginkan itu sebagai inti pengamalan pengajaran Hamalimon untuk bersikap dalam HASEREPON. Hingga Indonesia merdeka, masih banyak pernyataan dari orang batak sendiri yang menyatakan mahwa Parmalim nalilu (sesat), na so maradat (tidak memiliki etika) dan sipele begu (penyembah berhala). Ternyata sampai saat ini pernyataan itu masih ada. Berdasarkan itu pula masyarakat batak Kristen di jalan Air Bersih Ujung Medan menolak ketika Parmalim hendak mendirikan Parsantian tempat bagi mereka berteduh dengan nyaman dan tenang menyembah kepada Mulajadi Nabolon. Leluhur Parmalim sudah sering terpenjara karena berjuang, karena fitnah dan karena kepentingan kebesaran dan kekuasaan. Walau Parmalim sangat mendambakan kemerdekaan (manjujung baringinna) tidak serta merta menikmati kemerdekaan itu. Parmalim dijajah dan ditindas dinegeri sendiri oleh saudara sendiri. Sudah sejak lama Parmalim menerima ajaran HASEREPON dan HABENGETON untuk tidak sakit hati mendengar semua fitnah yang dilontarkan orang lain. Itulah sebabnya Parmalim tidak pernah menjawab semua tudingan yang dilontarkan kepada mereka dari orang yang mengandalkan kekuasaan dan kebesaran dan yang merasa paling benar dan di jalan Tuhan.
Parmalim memiliki keyakinan bahwa para leluhur tidak ada yang terpenjara dan tertindas karena mencuri, membunuh, memfitnah, menipu, berjinah yang semuanya melanggar etika Hamalimon. Mereka dipenjara dan difitnah atas kebenaran yang diyakini karena menyembah kepada Mulajadi Nabolon yang mereka sebut Debata dan Tuhan tertinggi. Walau Parmalim salama kemerdekaan masih terpenjara dalam arti bukan fisik, harus tetap berpedoman bahwa itu semua terjadi bukan berdasarkan kejahatan. Mereka senatiasa harus berpegang teguh kepada pesan leluhur untuk tidak membalas tindak kebodohan dengan cara bodoh, tindak kejahatan dengan cara yang jahat, fitnah dengan cara memfitnah. Parmalim mendorong untuk cerdas dalam berpikir melalui pemahaman akan ajaran-ajaran dan menyeimbangkan intelektual melalui pendidikan. Dan sudah dilakukan sejak tahun 1939 saat Parmalim mendirikan Parmalim School. Pemikiran parmalim berkembang, sementara pembodohan dan kebodohan masih berkutat sampai sekarang yang mengklaim Parmalim sesat dan tidak diberi ruang.
hari bahagia
Hari bahagia
Terkadang ada saat-saat dalam hidup ketika engkau merindukan seseorang begitu dalam, hingga engkau ingin mengambilnya dari angan-anganmu, lalu memeluknya erat-erat !
Ketika pintu kebahagiaan tertutup, pintu yang lain terbuka…tetapi, seringkali kita memandang terlalu lama pada pintu yang tertutup hingga kita tidak melihat pintu lain, yang telah terbuka bagi kita.
Jangan percaya penglihatan; penglihatan dapat menipu. Jangan percaya kekayaan; kekayaan dapat sirna. Percayalah pada dia yang dapat membuatmu tersenyum.....sebab hanya senyumlah yang dibutuhkan unuk mengubah hari gelap menjadi terang.
Carilah dia yang membuat hatimu tersenyum. Angankan apa yang ingin engkau angankan... pergilah kemana engkau ingin pergi,,, Jadilah seperti yang engkau kehendaki. Sebab hidup hanya satu kali dan engkau hanya memiliki satu kesempatan untuk melakukan segala hal yang engkau ingin lakukan.
Semoga engkau punya cukup kebahagiaan untuk membuatmu tersenyum. Cukup pencobaan untuk membuatmu kuat. Cukup penderitaan untuk tetap menjadikanmu manusiawi. Dan cukup pengharapan untuk menjadikanmu bahagia.
Mereka yang paling berbahagia tidaklah harus memiliki yang terbaik dari segala sesuatu. Mereka hanya mengoptimalkan segala sesuatu yang datang dalam perjalanan hidup mereka. Masa depan yang paling gemilang akan selalu dapat diraih dengan melupakan masa lalu yang kelabu. Engkau tidak akan dapat maju dalam hidup hingga engkau melepaskan segala kegagalan dan sakit hatimu.
Ketika engkau dilahirkan, engkau menangis sementara semua orang disekelilingmu tersenyum. Jalani hidupmu sedemikian rupa, hingga pada akhirnya engkaulah satu-satunya yang tersenyum sementara semua orang di sekelilingmu menangis. Jangan hitung tahun-tahun yang lewat, hitunglah saat-saat yang indah. Hidup tidak diukur dengan banyaknya nafas yang kita hirup melainkan dengan saat-saat dimana kita menarik nafas bahagia.
Terkadang ada saat-saat dalam hidup ketika engkau merindukan seseorang begitu dalam, hingga engkau ingin mengambilnya dari angan-anganmu, lalu memeluknya erat-erat !
Ketika pintu kebahagiaan tertutup, pintu yang lain terbuka…tetapi, seringkali kita memandang terlalu lama pada pintu yang tertutup hingga kita tidak melihat pintu lain, yang telah terbuka bagi kita.
Jangan percaya penglihatan; penglihatan dapat menipu. Jangan percaya kekayaan; kekayaan dapat sirna. Percayalah pada dia yang dapat membuatmu tersenyum.....sebab hanya senyumlah yang dibutuhkan unuk mengubah hari gelap menjadi terang.
Carilah dia yang membuat hatimu tersenyum. Angankan apa yang ingin engkau angankan... pergilah kemana engkau ingin pergi,,, Jadilah seperti yang engkau kehendaki. Sebab hidup hanya satu kali dan engkau hanya memiliki satu kesempatan untuk melakukan segala hal yang engkau ingin lakukan.
Semoga engkau punya cukup kebahagiaan untuk membuatmu tersenyum. Cukup pencobaan untuk membuatmu kuat. Cukup penderitaan untuk tetap menjadikanmu manusiawi. Dan cukup pengharapan untuk menjadikanmu bahagia.
Mereka yang paling berbahagia tidaklah harus memiliki yang terbaik dari segala sesuatu. Mereka hanya mengoptimalkan segala sesuatu yang datang dalam perjalanan hidup mereka. Masa depan yang paling gemilang akan selalu dapat diraih dengan melupakan masa lalu yang kelabu. Engkau tidak akan dapat maju dalam hidup hingga engkau melepaskan segala kegagalan dan sakit hatimu.
Ketika engkau dilahirkan, engkau menangis sementara semua orang disekelilingmu tersenyum. Jalani hidupmu sedemikian rupa, hingga pada akhirnya engkaulah satu-satunya yang tersenyum sementara semua orang di sekelilingmu menangis. Jangan hitung tahun-tahun yang lewat, hitunglah saat-saat yang indah. Hidup tidak diukur dengan banyaknya nafas yang kita hirup melainkan dengan saat-saat dimana kita menarik nafas bahagia.
mencegah depresi
Beberapa saran untuk mencegah depresi karena rasa bersalah:
1. putuskan untuk berhenti menjadi ”pencatat kesalahan.” pencatat kesalahan adalah orang yang diprogram untuk menerima rasa bersalah dari kesalahan-kesalahan apa saja yang terjadi di sekitarnya, tidak peduli apakah keslahan itu miliknya atau bukan.
2. lakukan pemberian maaf. Cobalah memaafkan diri anda sendiri. Mungkin anda akan menyukai hal ini. Jangan sombong pada Tuhan dengan mengatakan,”Yah. Mungkin Dia mengampuniku namun Dia tidak mengetahui apa yang aku lakukan. ”lakukan pemberian maaf pada anak-anak anda. Bila aku membisikkan permintaan maaf sebagai orang tua, aku akan pergi npada anak-anak yang kuganggu itu dan meminta maaf padanya. Anak-anak sangat hebat. Anak-anak ku selalu memaafkanku dan berkata,”Tidak apa-apa, Ayah, kami tahu Ayah dalam keadaan gugup, namun kami mencintai Ayah.”
3. bila anda telah melukai seseorang, pergilah pada orang itu dan mintalah maaf. Hal ini sulit dilakukan namun merupakan cara yang cukup kuat untuk menghilangkan rasa bersalah.
4. bila anda perlu berbicara dengan seseorang, temukanlah seseorang yang sudah berdamai dengan sifat kemanusiaannya sendiri, dengan kekuatannya dan kelemahannya. Tumpahkanlah rasa bersalah anda pada orang itu. Orang-orang yang membutuhkan maaf dari dirinya sendiri akan menerima dan memahami kebutuhan orang lain untuk diberi maaf.
Psikologi besar Amerika, Abraham Maslow (1908-1970) mengemukakan, bahwa setelah kebutuhan dasar manusia terpuaskan, muncul kebutuhan akan rasa aman. Kebutuhan ini biasanya terpuaskan pada orang-orang dewasa yang sehat secara kejiwaan. Begitu kebutuhan ini kurang terpenuhi, manusia cenderung mulai cemas akan keadaannya.
Frank Goble dalam bukunya ”The third Force, The Psychology of Abraham Maslow” menulis, penelitian psikosomatik terus membuktikan bahwa perasaan cemas yang berlarut-larut cenderung m,elahirkan akibat-akibat fisik maupun psikologis yang tidak diharapkan. Sebagaimana Maslow berpendapat,”sikap ini muncul akibat tidak terpuaskannya kebutuhan akan rasa aman.”
Kerap terjadi karena takut di cemooh lingkungan sekitarnya..
1. putuskan untuk berhenti menjadi ”pencatat kesalahan.” pencatat kesalahan adalah orang yang diprogram untuk menerima rasa bersalah dari kesalahan-kesalahan apa saja yang terjadi di sekitarnya, tidak peduli apakah keslahan itu miliknya atau bukan.
2. lakukan pemberian maaf. Cobalah memaafkan diri anda sendiri. Mungkin anda akan menyukai hal ini. Jangan sombong pada Tuhan dengan mengatakan,”Yah. Mungkin Dia mengampuniku namun Dia tidak mengetahui apa yang aku lakukan. ”lakukan pemberian maaf pada anak-anak anda. Bila aku membisikkan permintaan maaf sebagai orang tua, aku akan pergi npada anak-anak yang kuganggu itu dan meminta maaf padanya. Anak-anak sangat hebat. Anak-anak ku selalu memaafkanku dan berkata,”Tidak apa-apa, Ayah, kami tahu Ayah dalam keadaan gugup, namun kami mencintai Ayah.”
3. bila anda telah melukai seseorang, pergilah pada orang itu dan mintalah maaf. Hal ini sulit dilakukan namun merupakan cara yang cukup kuat untuk menghilangkan rasa bersalah.
4. bila anda perlu berbicara dengan seseorang, temukanlah seseorang yang sudah berdamai dengan sifat kemanusiaannya sendiri, dengan kekuatannya dan kelemahannya. Tumpahkanlah rasa bersalah anda pada orang itu. Orang-orang yang membutuhkan maaf dari dirinya sendiri akan menerima dan memahami kebutuhan orang lain untuk diberi maaf.
Psikologi besar Amerika, Abraham Maslow (1908-1970) mengemukakan, bahwa setelah kebutuhan dasar manusia terpuaskan, muncul kebutuhan akan rasa aman. Kebutuhan ini biasanya terpuaskan pada orang-orang dewasa yang sehat secara kejiwaan. Begitu kebutuhan ini kurang terpenuhi, manusia cenderung mulai cemas akan keadaannya.
Frank Goble dalam bukunya ”The third Force, The Psychology of Abraham Maslow” menulis, penelitian psikosomatik terus membuktikan bahwa perasaan cemas yang berlarut-larut cenderung m,elahirkan akibat-akibat fisik maupun psikologis yang tidak diharapkan. Sebagaimana Maslow berpendapat,”sikap ini muncul akibat tidak terpuaskannya kebutuhan akan rasa aman.”
Kerap terjadi karena takut di cemooh lingkungan sekitarnya..
RELIABILITAS
Konsepsi Dasar Reliabilitas
A. Pengertian reliabilitas
Kata reliabilitas dalam bahasa Indonesia diambil dari kata reliability dalam bahasa inggris, berasal dari kata asal reliable yang artinya dapat dipercaya. Seorang dikatakan dapat dipercaya jika orang tersebut selalu bicara ajek (consisten), tidak berubah-ubah pembicaraannya dari waktu ke waktu. Demikian juga halnya dalam sebuah tes. Te tersebut dikatakan dapat dipercaya (reliable) jika memberikan hasil yang tetap atau ajek (consistent) apabila diteskan berkali-kali. Jika diberikan tes yang sama pada waktu yang berlainan, maka setiap siswa akan tetap berada dalam urutan (ranking) yang sama atau ajek dalam kelompoknya.
Ajek atau tetap tidak selalu sama, tetapi mengikuti perubahan secara ajek. Jika keadaan A mula-mula berada lebih rendah dengan B, maka jika diadakan pengukuran ulang, si A tetap berada lebih rendah dari B. Itulah yang dikatakan ajek atau tetap, yaitu tetap dalam kedudukan siswa di antara anggota kelompok yang lain. Jika dihubungkan dengan validitas maka validitas berhubungan dengan ketepatan sedangkan reliabilitas berhubungan dengan ketetapan atau ke ajekan (Widoyoko, 2009: 99)
Menurut Purwanto (1990: 139) reliability adalah ketetapan atau ketelitian suatu alat evaluasi. Suatu tes atau alat evaluasi dikatakan andal jika ia dapat dipercaya, konsisten atau stabil dan produktif. Jadi yang dipentingkan disini adalah ketelitiannya: sejauh mana tes atau alat tersebut dapat dipercaya kebenarannya.
Menurut Masidjo (1995: 209) reliabilitas suatu tes adalah taraf sampai dimana suatu tes mampu menunjukkan konsistensi hasil pengukurannya yang diperlihatkan dalam taraf ketepatan dan ketelitian hasil.
Konsep reliabilitas dalam teori skor-murni klasikal dapat dipahami dari beberapa interpretasi. Suatu tes dikatakan memiliki reliabilitas yang tinggi apabila, misalnya skor tampak tes itu berkorelasi tinggi dengan skor-murninya sendiri.
D. Metode-metode pendekatan.
Estimasi terhadap tingginya reliabilitas dapat dilakukan melalui berbagai metode pendekatan. Masing-masing metode pendekatan dikembangkan sesuai dengan sifat dan fungsi alat ukur yang bersangkutan dengan mempertimbangkan segi-segi praktisnya. Secaca tradisional, menurut prosedur yang dilakukan dan sifat koefisien yang dihasilkannya, terdapat tiga macam pendekatan reliabilitas yaitu pendekatan tes ulang (tes-retest), pendekatan bentuk paralel (paralel-forms), dan pendekatan konsistensi internal (internal consistency).
1. Pendekatan tes ulang.
Pendekatan tes ulang dilakukan dengan menyajikan tes dua kali pada suatu kelompok subjek dengan tenggang waktu diantara kedua penyajian tersebut. Asumsi dasar adalah bahwa suatu tes yang reliabel tentu akan menghasilkan skor-tampak yang relatif sama apabila dikenakan dua kali pada waktu yang berbeda. Semakin besar varians perbedaan skor subjek antara kedua pengenaan itu berarti semakin sulit untuk mempercayai bahwa tes itu memberikan hasil ukur yang konsisten.
Dalam menggunakan pendekatan tes ulang ini harus diperhatikan pula kemungkinan adanya perubahan kondisi subjek yang sejalan dengan berbedanya waktu diantara kedua penyajian tes. Perubahan kondisi subjek yang terjadi tidak pada keseluruhan subjek dan tidak searah sedikit banyak akan ada pengaruhnya terhadap koefisien reliabilitas yang diperoleh. Sebagai contoh, apabila subjek tidak sungguh-sungguh dalam mengerjakan tes, dalam keadaan lelah atau memang tidak siap ketika dikenai tes yang pertamakali lalu kemudian ia belajar sehingga siap, atau kemudian ia lebih bersungguh-sungguh dalam mengerjakan tes tersebut maka skor subjek pada kedua pemberian tes akan banyak berbeda. Kalau hal ini terjadi pada sebagian subjek dan perubahan skor itu tidak searah bagi semua subjek maka reliabilitas yang ditunjukkan oleh korelasi antara kedua pemberian tes tidak akan tinggi. Koefisien tersebut tidak merupakan estimasi yang benar terhadap reliabilitas tes akan terjadi merupakan estimasi yang lebih rendah daripada semestinya (underestimasi). Itulah salah satu contoh kasus terjadinya carry over effects (efek bawaan) yang seringkali menjadi problem serius dalam pendekatan reliabilitas tes ulang.
Efek bawaan yang lain yang dapat terjadi dikarenakan masih ingatnya subjek akan jawaban yang pernah diberikan pada waktu pertama kali tes disajikan, dan kemudian pada waktu tes tersebut disajikan kembali subjek hanya sekedar mengulangi jawaban yang pernah ia berikan.
Efek bawaan dapat terjadi sebagai akibat dari latihan yang dialami subjek pada waktu dikenai tes pertama kali. Dalam hal ini subjek akan mengerjakan tes yang kedua kali dengan lebih baik karena pengalaman dalam mengerjakan tes yang sama. hal ini benar terutama pada tes yang mengukur aspek kemampuan, baik kemampuan aktual maupun kemampuan potensial.
Disamping itu terdapat kemungkinan timbulnya rejeksi atau reaksi penolakan terhadap tes dalam diri subjek, yang dinyatakan dalam bentuk perilaku pengerjaan tes dengan tidak bersungguh-sungguh. Subjek menyadari bahwa tes tersebut serupa dengan yang telah diberikan sebelumnya sehingga timbul anggapan dalam diri subjek bahwa dirinya hanya digunakan sebagai percobaan. Kemungkinan terjadinya rejeksi ini besar pada penyajian tes yang mengukur aspek afektif.
Tidak mudah untuk menentukan berapa lama tenggang waktu yang perlu disediakan diantara dua kali pemberian tes dalam pendekatan seperti ini. Bila tenggang waktu terlalu singkat sangat mungkin terjadi efek bawaan sedangkan bila tenggang waktunya terlalu panjang sangat mungkin terjadi perubahan pada aspek psikologis yang diukur dalam diri subjek. Mungkin pula lamanya tenggang waktu akan menyebabkan perubahan suasana hati, motivasi, dan sikap subjek terhadap pengetesan. Oleh karena itu pendekatan tes ulang cocok digunakan hanya bagi tes yang mengukur aspek psikologis yang relatif stabil dan tidak mudah berubah.
2. Pendekatan bentuk paralel.
Pendekatan bentuk paralel tes yang akan diestimasi reliabilitasnya harus ada paralelnya, yaitu tes lain yang sama tujuan ukurnya dan setara isi aitemnya baik secara kualitas maupun kuantitasnya. Dua tes yang paralel hanya ada secara teoritik, tidak benar-benar paralel secara empirik.
Untuk membuat dua tes menjadi paralel, penyusunannya haruslah didasarkan pada satu spesifikasi yang sama. Spesifikasi ini meliputi tujuan ukur, batasan objek ukur dan operasionalisasinya, indikator-indikator perilakunya, banyaknya aitem, format aitem, juga kalau perlu meliputi taraf kesukaran aitem. Secara empirik, kemudian dua tes yang paralel itu haruslah menghasilkan mean skor dan varians yang setara dan korelasi yang juga tidak berbeda dengan suatu variabel ke tiga.
Bila telah diperoleh dua tes yang paralel maka estimasi reliabilitasnya dilakukan dengan mengenakan dua tes tersebut bersamaan pada sekelompok subjek. Masing-masing tes menghasilkan distribusi skor-tampak dari seluruh subjek. Dengan menghitung korelasi antara kedua distribusi skor tersebut akan diperoleh koefisien yang menunjukkan sejauhmana kedua distribusi skor ini bervariasi sama. Semakin sama kedudukan setiap subjek pada kedua tes semakin tinggi kecocokan hasil ukurnya.
Dua tes yang paralel yang menghasilkan skor berkorelasi tinggi satu sama lain disebut tes yang reliabel dan koefisien korelasinya merupakan koefisien reliabilitas tes yang bersangkutan. Sebaliknya, bila dua tes yang telah dianggap paralel ternyata tidak dapat menghasilkan skor yang berkorelasi tinggi satu sama lain berarti tes tersebut tidak cukup reliabel dan hasil ukurnya tidak dapat dipercaya.
Kelemahan utama dalam pendekatan ini terletak pada sulitnya menyusun dua tes yang paralel itu sendiri. Sedangkan menyusun satu tes yang memenuhi syarat kualitas yang baik saja tidaklah mudah apalagi menyusun dua tes yang setara.
3. Pendekatan Konsistensi Internal
Pendekatan konsistensi internal dilakukan dengan menggunakan satu bentuk tes yang dikenakan hanya sekali saja pada sekelompok subjek (single-trial administration). Dengan menyajikan satu tes hanya satu kali, maka problem yang mungkin timbul pada dua pendekatan reliabilitas terdahulu dapat dihindari.
Pendekatan reliabilitas konsistensi internal bertujuan melihat konsistensi antaraitem atau antarbagian dalam tes itu sendiri. Untuk itu, setelah skor setiap aitem diperoleh dari sekelompok subjek, tes dibagi menjadi beberapa belahan.
Tes yang akan diestimasi reliabilitasnya dapat dibelah menjadi belahan-belahan sebanyak jumlah aitemnya sehingga setiap belahan berisi satu aitem saja. Bila suatu tes dibelah menjadi belahan-belahan yang masing-masing berisi lebih dari pada satu aitem, walaupun bukan keharusan akan tetapi sangat dianjurkan untuk menjadikan jumlah aitem dalam masing-masing belahan sama banyak sehingga belahan-belahan itu seimbang. Keseimbangan belahan-belahan itu tidak saja menyangkut banyaknya aitem dalam masing-masing belahan akan tetapi hendaknya juga meliputi aspek isi dan karakteristik aitem-aitemnya.
Untuk melihat kecocokan atau konkordansi diantara belahan-belahan tes dilakukan komputasi statistik melalui teknik-teknik korelasi, analisis varians antar belahan, analisis varians perbedaan skor dll. Pendekatan konsistensi internal menyediakan pilihan cara komputasi yang lebih banyak dan dapat disesuaikan dengan asumsi-asumsi yang harus dipenuhi oleh setiap formula komputasinya.
E. Reliabilitas : Konsistensi Internal
Pendekatan konsistensi internal dalam estimasi dimaksudkan untuk menghindari masalah-masalah yang biasanya ditimbulkan oleh pendekatan tes-ulang dan oleh pendekatan bentuk paralel. Dalam pendekatan konsistensi internal prosedurnya hanya memerlukan satu kali pengenaan sebuah tes kepada sekelompok individu sebagai subjek (single trial administration). Oleh karena itu pendekatan ini mempunyai nilai praktis dan efisiensi yang tinggi.
Dengan hanya satu kali pengetesan tes akan diperoleh satu distribusi skor tes dari kelompok subjek yang bersangkutan. Untuk itu, prosedur analisis reliabilitasnya diarahkan pada analisis terhadap aitem-aitem atau terhadap kelompok-kelompok aitem dalam tes sehingga perlu dilakukan pembelahan tes menjadi beberapa kelompok aitem yang disebut bagian atau belahan tes.
Pembelahan tes dilakukan sedemikian rupa sehingga sedapat mungkin setiap belahan berisi aitem dalam jumlan yang sama banyak. Akan tetapi bila membagi tes kedalam belahan yang berisi aitem dalam jumlah sama banyak tidak mungkin untuk dilakukan, hal itu tidak merupakan masalah lagi dikarenakan sekarang ini telah tersedia rumusan-rumusan baru guna pengujian reliabilitas terhadap tes yang dibelah menjadi bagian-bagian yang berisi aitem dalam jumlah yang tidak seimbang.
Suatu tes yang hasilnya sebagian ditentukan oleh kecepatan kerja (speeded-test), misalnya menghendaki cara pembelahan yang berbeda dari cara pembelahan yang dilakukan terhadap tes yang mengukur kemampuan maksimum (power-test). Suatu tes yang berisi aitem-aitem yang mempunyai taraf kesukaran homogen akan lebih terbuka terhadap berbagai cara pembelahan bila dibandingkan dengan tes yang berisi aitem-aitem dengan tingkat kesukaran yang sangat bervariasi.
Beberapa Cara Pembelahan Tes
a. Pembelahan cara random
Pembelahan secara random hanya boleh dilakukan apabila tes yang akan dibelah berisi aitem-aitem yang homogen. Pengertian homogen dalam hal ini harus dipandang dari segi isi (content homogeneus) dan juga dari segi taraf kesukarannya apabila tes itu mengukur aspek kognitif. Suatu tes yang berisi aitem heterogen bila dibelah secara random akan menghasilkan belahan-belahan yang tidak setara satu sama lain, kecuali bila tes tersebut terdiri dari aitem yang berjumlah sangat besar.
b. Pembelahan gasal-genap
Pembelahan dengan cara gasal-genap (odd-even splits) sangat populer dan mudah dilakukan. Dalam cara ini, seluruh aitem yang bernomor urut gasal dijadikan satu kelompok menjadi belahan pertama dan seluruh aitem yang bernomor urut genap dijadikan satu kelompok menjadi belahan kedua. Dengan membelah secara gasal-genap diharapkan akan diperoleh dua bagian yang setara dari segi isi dan taraf kesukaran aitem-aitemnya. Cara pembelahan ini dapat menghindari kemungkinan terjadinya pengelompokan aitem-aitem tertentu kedalam salah satu belahan saja.
c. Pembelahan matched-random subsets
Dengan cara ini, setiap aitem dalam tes diletakkan pada satu posisi atau titik tertentu dalam grafik berdasarkan harga indeks kesukaran aitem (p) dan koefisien korelasi antara aitem yang bersangkutan dengan skor tes ( ). Dengan melihat posisi aitem pada grafik dapat diketahui bahwa Setiap aitem yang letaknya berdekatan berarti memiliki karakteristik (p dan ) yang relatif sama atau mirip satu sama lain. Kemudian Setiap dua aitem yang berdekatan dapat diundi untuk menentukan mana yang diikutkan kedalam belahan kedua sehingga diperoleh dua belahan yang masing-masing berisi sepuluh aitem.
A. Pengertian reliabilitas
Kata reliabilitas dalam bahasa Indonesia diambil dari kata reliability dalam bahasa inggris, berasal dari kata asal reliable yang artinya dapat dipercaya. Seorang dikatakan dapat dipercaya jika orang tersebut selalu bicara ajek (consisten), tidak berubah-ubah pembicaraannya dari waktu ke waktu. Demikian juga halnya dalam sebuah tes. Te tersebut dikatakan dapat dipercaya (reliable) jika memberikan hasil yang tetap atau ajek (consistent) apabila diteskan berkali-kali. Jika diberikan tes yang sama pada waktu yang berlainan, maka setiap siswa akan tetap berada dalam urutan (ranking) yang sama atau ajek dalam kelompoknya.
Ajek atau tetap tidak selalu sama, tetapi mengikuti perubahan secara ajek. Jika keadaan A mula-mula berada lebih rendah dengan B, maka jika diadakan pengukuran ulang, si A tetap berada lebih rendah dari B. Itulah yang dikatakan ajek atau tetap, yaitu tetap dalam kedudukan siswa di antara anggota kelompok yang lain. Jika dihubungkan dengan validitas maka validitas berhubungan dengan ketepatan sedangkan reliabilitas berhubungan dengan ketetapan atau ke ajekan (Widoyoko, 2009: 99)
Menurut Purwanto (1990: 139) reliability adalah ketetapan atau ketelitian suatu alat evaluasi. Suatu tes atau alat evaluasi dikatakan andal jika ia dapat dipercaya, konsisten atau stabil dan produktif. Jadi yang dipentingkan disini adalah ketelitiannya: sejauh mana tes atau alat tersebut dapat dipercaya kebenarannya.
Menurut Masidjo (1995: 209) reliabilitas suatu tes adalah taraf sampai dimana suatu tes mampu menunjukkan konsistensi hasil pengukurannya yang diperlihatkan dalam taraf ketepatan dan ketelitian hasil.
Konsep reliabilitas dalam teori skor-murni klasikal dapat dipahami dari beberapa interpretasi. Suatu tes dikatakan memiliki reliabilitas yang tinggi apabila, misalnya skor tampak tes itu berkorelasi tinggi dengan skor-murninya sendiri.
D. Metode-metode pendekatan.
Estimasi terhadap tingginya reliabilitas dapat dilakukan melalui berbagai metode pendekatan. Masing-masing metode pendekatan dikembangkan sesuai dengan sifat dan fungsi alat ukur yang bersangkutan dengan mempertimbangkan segi-segi praktisnya. Secaca tradisional, menurut prosedur yang dilakukan dan sifat koefisien yang dihasilkannya, terdapat tiga macam pendekatan reliabilitas yaitu pendekatan tes ulang (tes-retest), pendekatan bentuk paralel (paralel-forms), dan pendekatan konsistensi internal (internal consistency).
1. Pendekatan tes ulang.
Pendekatan tes ulang dilakukan dengan menyajikan tes dua kali pada suatu kelompok subjek dengan tenggang waktu diantara kedua penyajian tersebut. Asumsi dasar adalah bahwa suatu tes yang reliabel tentu akan menghasilkan skor-tampak yang relatif sama apabila dikenakan dua kali pada waktu yang berbeda. Semakin besar varians perbedaan skor subjek antara kedua pengenaan itu berarti semakin sulit untuk mempercayai bahwa tes itu memberikan hasil ukur yang konsisten.
Dalam menggunakan pendekatan tes ulang ini harus diperhatikan pula kemungkinan adanya perubahan kondisi subjek yang sejalan dengan berbedanya waktu diantara kedua penyajian tes. Perubahan kondisi subjek yang terjadi tidak pada keseluruhan subjek dan tidak searah sedikit banyak akan ada pengaruhnya terhadap koefisien reliabilitas yang diperoleh. Sebagai contoh, apabila subjek tidak sungguh-sungguh dalam mengerjakan tes, dalam keadaan lelah atau memang tidak siap ketika dikenai tes yang pertamakali lalu kemudian ia belajar sehingga siap, atau kemudian ia lebih bersungguh-sungguh dalam mengerjakan tes tersebut maka skor subjek pada kedua pemberian tes akan banyak berbeda. Kalau hal ini terjadi pada sebagian subjek dan perubahan skor itu tidak searah bagi semua subjek maka reliabilitas yang ditunjukkan oleh korelasi antara kedua pemberian tes tidak akan tinggi. Koefisien tersebut tidak merupakan estimasi yang benar terhadap reliabilitas tes akan terjadi merupakan estimasi yang lebih rendah daripada semestinya (underestimasi). Itulah salah satu contoh kasus terjadinya carry over effects (efek bawaan) yang seringkali menjadi problem serius dalam pendekatan reliabilitas tes ulang.
Efek bawaan yang lain yang dapat terjadi dikarenakan masih ingatnya subjek akan jawaban yang pernah diberikan pada waktu pertama kali tes disajikan, dan kemudian pada waktu tes tersebut disajikan kembali subjek hanya sekedar mengulangi jawaban yang pernah ia berikan.
Efek bawaan dapat terjadi sebagai akibat dari latihan yang dialami subjek pada waktu dikenai tes pertama kali. Dalam hal ini subjek akan mengerjakan tes yang kedua kali dengan lebih baik karena pengalaman dalam mengerjakan tes yang sama. hal ini benar terutama pada tes yang mengukur aspek kemampuan, baik kemampuan aktual maupun kemampuan potensial.
Disamping itu terdapat kemungkinan timbulnya rejeksi atau reaksi penolakan terhadap tes dalam diri subjek, yang dinyatakan dalam bentuk perilaku pengerjaan tes dengan tidak bersungguh-sungguh. Subjek menyadari bahwa tes tersebut serupa dengan yang telah diberikan sebelumnya sehingga timbul anggapan dalam diri subjek bahwa dirinya hanya digunakan sebagai percobaan. Kemungkinan terjadinya rejeksi ini besar pada penyajian tes yang mengukur aspek afektif.
Tidak mudah untuk menentukan berapa lama tenggang waktu yang perlu disediakan diantara dua kali pemberian tes dalam pendekatan seperti ini. Bila tenggang waktu terlalu singkat sangat mungkin terjadi efek bawaan sedangkan bila tenggang waktunya terlalu panjang sangat mungkin terjadi perubahan pada aspek psikologis yang diukur dalam diri subjek. Mungkin pula lamanya tenggang waktu akan menyebabkan perubahan suasana hati, motivasi, dan sikap subjek terhadap pengetesan. Oleh karena itu pendekatan tes ulang cocok digunakan hanya bagi tes yang mengukur aspek psikologis yang relatif stabil dan tidak mudah berubah.
2. Pendekatan bentuk paralel.
Pendekatan bentuk paralel tes yang akan diestimasi reliabilitasnya harus ada paralelnya, yaitu tes lain yang sama tujuan ukurnya dan setara isi aitemnya baik secara kualitas maupun kuantitasnya. Dua tes yang paralel hanya ada secara teoritik, tidak benar-benar paralel secara empirik.
Untuk membuat dua tes menjadi paralel, penyusunannya haruslah didasarkan pada satu spesifikasi yang sama. Spesifikasi ini meliputi tujuan ukur, batasan objek ukur dan operasionalisasinya, indikator-indikator perilakunya, banyaknya aitem, format aitem, juga kalau perlu meliputi taraf kesukaran aitem. Secara empirik, kemudian dua tes yang paralel itu haruslah menghasilkan mean skor dan varians yang setara dan korelasi yang juga tidak berbeda dengan suatu variabel ke tiga.
Bila telah diperoleh dua tes yang paralel maka estimasi reliabilitasnya dilakukan dengan mengenakan dua tes tersebut bersamaan pada sekelompok subjek. Masing-masing tes menghasilkan distribusi skor-tampak dari seluruh subjek. Dengan menghitung korelasi antara kedua distribusi skor tersebut akan diperoleh koefisien yang menunjukkan sejauhmana kedua distribusi skor ini bervariasi sama. Semakin sama kedudukan setiap subjek pada kedua tes semakin tinggi kecocokan hasil ukurnya.
Dua tes yang paralel yang menghasilkan skor berkorelasi tinggi satu sama lain disebut tes yang reliabel dan koefisien korelasinya merupakan koefisien reliabilitas tes yang bersangkutan. Sebaliknya, bila dua tes yang telah dianggap paralel ternyata tidak dapat menghasilkan skor yang berkorelasi tinggi satu sama lain berarti tes tersebut tidak cukup reliabel dan hasil ukurnya tidak dapat dipercaya.
Kelemahan utama dalam pendekatan ini terletak pada sulitnya menyusun dua tes yang paralel itu sendiri. Sedangkan menyusun satu tes yang memenuhi syarat kualitas yang baik saja tidaklah mudah apalagi menyusun dua tes yang setara.
3. Pendekatan Konsistensi Internal
Pendekatan konsistensi internal dilakukan dengan menggunakan satu bentuk tes yang dikenakan hanya sekali saja pada sekelompok subjek (single-trial administration). Dengan menyajikan satu tes hanya satu kali, maka problem yang mungkin timbul pada dua pendekatan reliabilitas terdahulu dapat dihindari.
Pendekatan reliabilitas konsistensi internal bertujuan melihat konsistensi antaraitem atau antarbagian dalam tes itu sendiri. Untuk itu, setelah skor setiap aitem diperoleh dari sekelompok subjek, tes dibagi menjadi beberapa belahan.
Tes yang akan diestimasi reliabilitasnya dapat dibelah menjadi belahan-belahan sebanyak jumlah aitemnya sehingga setiap belahan berisi satu aitem saja. Bila suatu tes dibelah menjadi belahan-belahan yang masing-masing berisi lebih dari pada satu aitem, walaupun bukan keharusan akan tetapi sangat dianjurkan untuk menjadikan jumlah aitem dalam masing-masing belahan sama banyak sehingga belahan-belahan itu seimbang. Keseimbangan belahan-belahan itu tidak saja menyangkut banyaknya aitem dalam masing-masing belahan akan tetapi hendaknya juga meliputi aspek isi dan karakteristik aitem-aitemnya.
Untuk melihat kecocokan atau konkordansi diantara belahan-belahan tes dilakukan komputasi statistik melalui teknik-teknik korelasi, analisis varians antar belahan, analisis varians perbedaan skor dll. Pendekatan konsistensi internal menyediakan pilihan cara komputasi yang lebih banyak dan dapat disesuaikan dengan asumsi-asumsi yang harus dipenuhi oleh setiap formula komputasinya.
E. Reliabilitas : Konsistensi Internal
Pendekatan konsistensi internal dalam estimasi dimaksudkan untuk menghindari masalah-masalah yang biasanya ditimbulkan oleh pendekatan tes-ulang dan oleh pendekatan bentuk paralel. Dalam pendekatan konsistensi internal prosedurnya hanya memerlukan satu kali pengenaan sebuah tes kepada sekelompok individu sebagai subjek (single trial administration). Oleh karena itu pendekatan ini mempunyai nilai praktis dan efisiensi yang tinggi.
Dengan hanya satu kali pengetesan tes akan diperoleh satu distribusi skor tes dari kelompok subjek yang bersangkutan. Untuk itu, prosedur analisis reliabilitasnya diarahkan pada analisis terhadap aitem-aitem atau terhadap kelompok-kelompok aitem dalam tes sehingga perlu dilakukan pembelahan tes menjadi beberapa kelompok aitem yang disebut bagian atau belahan tes.
Pembelahan tes dilakukan sedemikian rupa sehingga sedapat mungkin setiap belahan berisi aitem dalam jumlan yang sama banyak. Akan tetapi bila membagi tes kedalam belahan yang berisi aitem dalam jumlah sama banyak tidak mungkin untuk dilakukan, hal itu tidak merupakan masalah lagi dikarenakan sekarang ini telah tersedia rumusan-rumusan baru guna pengujian reliabilitas terhadap tes yang dibelah menjadi bagian-bagian yang berisi aitem dalam jumlah yang tidak seimbang.
Suatu tes yang hasilnya sebagian ditentukan oleh kecepatan kerja (speeded-test), misalnya menghendaki cara pembelahan yang berbeda dari cara pembelahan yang dilakukan terhadap tes yang mengukur kemampuan maksimum (power-test). Suatu tes yang berisi aitem-aitem yang mempunyai taraf kesukaran homogen akan lebih terbuka terhadap berbagai cara pembelahan bila dibandingkan dengan tes yang berisi aitem-aitem dengan tingkat kesukaran yang sangat bervariasi.
Beberapa Cara Pembelahan Tes
a. Pembelahan cara random
Pembelahan secara random hanya boleh dilakukan apabila tes yang akan dibelah berisi aitem-aitem yang homogen. Pengertian homogen dalam hal ini harus dipandang dari segi isi (content homogeneus) dan juga dari segi taraf kesukarannya apabila tes itu mengukur aspek kognitif. Suatu tes yang berisi aitem heterogen bila dibelah secara random akan menghasilkan belahan-belahan yang tidak setara satu sama lain, kecuali bila tes tersebut terdiri dari aitem yang berjumlah sangat besar.
b. Pembelahan gasal-genap
Pembelahan dengan cara gasal-genap (odd-even splits) sangat populer dan mudah dilakukan. Dalam cara ini, seluruh aitem yang bernomor urut gasal dijadikan satu kelompok menjadi belahan pertama dan seluruh aitem yang bernomor urut genap dijadikan satu kelompok menjadi belahan kedua. Dengan membelah secara gasal-genap diharapkan akan diperoleh dua bagian yang setara dari segi isi dan taraf kesukaran aitem-aitemnya. Cara pembelahan ini dapat menghindari kemungkinan terjadinya pengelompokan aitem-aitem tertentu kedalam salah satu belahan saja.
c. Pembelahan matched-random subsets
Dengan cara ini, setiap aitem dalam tes diletakkan pada satu posisi atau titik tertentu dalam grafik berdasarkan harga indeks kesukaran aitem (p) dan koefisien korelasi antara aitem yang bersangkutan dengan skor tes ( ). Dengan melihat posisi aitem pada grafik dapat diketahui bahwa Setiap aitem yang letaknya berdekatan berarti memiliki karakteristik (p dan ) yang relatif sama atau mirip satu sama lain. Kemudian Setiap dua aitem yang berdekatan dapat diundi untuk menentukan mana yang diikutkan kedalam belahan kedua sehingga diperoleh dua belahan yang masing-masing berisi sepuluh aitem.
Langganan:
Postingan (Atom)