Parmalim berasal dari kata malim yang memiliki dua arti yaitu: malim sebagai sifat dasar yang dituju yang berawal dari haiason dan parsolamon, dimana haiason diartikan dengan kebersihan fisik dan parsolamon diartikan dengan membatasi diri dari kenikmatan dan tindakan, kedua adalah malim sebagai sosok pribadi. Parmalim sendiri dapat diartikan dengan orang yang mengikuti ajaran malim, dimana pengikutnya harus memiliki sifat yang bersih atau suci baik fisik maupun rohani, serta dapat membatasi diri dari kenikmatan yang bersifat duniawi. Bentuk penghayatan dari kepercayaan Parmalim dahulunya hanya berbentuk upacara biasa saja dan belum disebut sebagai kepercayaan Parmalim tetapi disebut sebagai Ugamo Malim pada masyarakat Batak dan inti ajarannya berpegang pada adat istiadat Batak, lama-kelamaan kepercayaan ini mulai berkembang seiring dengan bertambahnya pengikut kepercayaan ini.
Parmalim lebih merujuk kepada pribadi orang yang menganut agama lokal. Bagi komunitas pemeluknya, agama ini disebut dengan Ugamo Malim. Tetapi parmalim sebagai identitas pribadi lebih populer daripada Ugamo Malim. Menurut Monang Naipospos, kata ugamo memiliki makna yang tidak bisa disepadankan dengan agama. Ugamo harus dimengerti dalam konteks tiga bagian penting tradisi Batak.
1. Ugahari : pengaturan hubungan sosial kemasyarakatan.
2. Ugasan : pengaturan kepemilikan (mana yang menjadi milik komunal dan mana yang bisa di miliki secara pribadi).
3. Ugamo : pengaturan hubungan manusia dengan Tuhan.
Komunitas ini mengenal Tuhan YME yang disebutnya sebagai Debata Mulajadi Nabolon. Debata Mulajadi Nabolon ini menciptakan Debata Natolu (Debata yang tiga) yang terdiri dari dewa Bataraguru yang memegang otoritas dalam perkara uhum (hukum) dan harajaon (kerajaan/kepemimpinan), dewa Sorisohaliapan yang berkuasa atas ajaran hamalimon (keagamaan/nilai-nilai kebaikan), dan dewa Balabulan yang bertugas memberikan penerangan dan peramalan (panurirangon), pengobatan/ketabiban (hadatuon) dan kekuatan (hagogon) kepada manusia. Selain itu ada dewa lain yang wajib disembah yaitu Siboru Deakparujar, Nagapadohaniaji, dan Siboru Saniangnaga.
Komunitas religius Parmalim diwajibkan mengimani empat raja yang diyakini diutus kepada manusia batak yaitu Raja Uti, Tuan Simarimbulubosi, Raja Sisingamangaraja dan Raja Nasiakbagi. Mereka bukan hanya dalam pengertian pemimpin politik tetapi juga pemimpin spiritual.
Ugamo, ugahari dan ugasan seharusnya dipahami dan dipraktikkan sebagai suatu kesatuan, namun ugamo (malim) mulai muncul relatif terpisah dari dua komponen sistem nilai lainnya ketika masyarakat batak dihadapkan pada ancaman kepunahan tradisi karena hadirnya para penginjil (zending mission) dan pemerintah kolonial Belanda. Di antara kelompok penginjil yang paling sukses menuai keberhasilan ditanah batak adalah Rheinische Missions- Gessellchaft (RMG) dari Jerman yang kemudian berkembang menjadi HKBP (Huria Kristen Batak Protestan). Dalam konteks inilah Ugamo Malim kemudian muncul sebagai perlawanan terhadap dominasi Kristen sekaligus terhadap penjajahan kolonial Belanda.
Munculnya ajaran parmalim dilihat dari dua versi yang berbeda. Awal kemunculan ajaran parmalim dikobarkan oleh Guru Somalaing. Pemuka angkatan perang Si Singamangaraja XII disebut mengembangkan ajaran lokal batak tersebut dengan unsur-unsur baru yang diperolehnya dari pergaulan dengan orang asing (terutama petualang Italia, Modigliani). Di sisi lain ada versi yang mengatakan bahwa ajaran parmalim diwarisi bukan dari Guru Somalaing melainkan dari Si Singamangaraja yang kemudian memberi perintah langsung kepada Raja Mulia Naipospos untuk menjaganya dari pengaruh Kristen. Ternyata perbedaan tentang Parmalim tidak hanya terkait dengan sejarah kemunculan ajarannya melainkan juga sejarah perkembangan, afiliasi, dan pengorganisasiannya.
Komunitas-komunitas yang mengklaim Parmalim itu tersebar mulai dari Aceh Tengah di sebelah utara, Asahan di sebelah timur dan Barus sebelah Barat. Beberapa komunitas itu bahkan saling bertentangan satu sama lain karena perbedaan kepentingan politik. Diantara sekian komunitas yang mengklaim dirinya sebagai Pamalim itu berpusat di Huta Tinggi, Laguboti, Kabupaten Toba Samosir. Komunitas inilah yang meyakini bahwa Raja Mulia Naipospos-lah yang pertama kali menyebarkan ajaran Parmalim sesuai perintah Si Singamangaraja XII.
Dalam surat-surat resminya, komunitas Parmalim menyebut dirinya sebagai Punguan Parmalim Bale Partonggoan Huta Tinggi Laguboti. Dalam sejarah organisasinya, Raja Mulia Naipospos adalah ihutan Parmalim pertama bagi komunitas Parmalim Bale Partonggoan Huta Tinggi. Ihutan Parmalim adalah sebutan untuk pemimpin tertinggi komunitas ini.
Posisi Ihutan Parmalim sudah dipegang oleh tiga generasi pemimpin dengan Raja Marnakkok Naipospos sebagai Ihutan Parmalim terakhir yang menggantikan ayahnya, Raja Ungkap Naipospos. Seorang Ihutan Parmalim bertugas memimpin upacara-upacara penting komunitas seperti sipaha sada (upacara peringatan kelahiran Tuhan Simarumbulusi pada bulan pertama kalender batak) dan sipaha lima (upacara persembahan palean Kurban pada bulan kelima kalender batak), serta marari sabtu (ibadat rutin di hari sabtu).
Adapun peraturan-peraturan yang ada di dalam Parmalim yaitu para pengikutnya dilarang berdusta, berjinah dan mencemari agama mereka, dalam setiap pelanggarannya akan ada sanksi-sanksi tertentu bagi orang yang melanggar peraturan agama tersebut, salah satu hukumannya yaitu pemberian peringatan kepada si pelaku dan membuat suatu upacara tersendiri untuk menebus kesalahannya, upacara ini haruslah berupa persembahan seekor ayam dan diiringi oleh gondang sabangunan. Ciri khas dari pengikut Parmalim yaitu adanya bane-bane yang diikat bersama jeruk kecil dan bonang manalu atau bonang Batak dan diletakkan di atas pintu atau di suatu tempat yang dapat terlihat oleh orang lain. Adapun adat yang menjadi pedoman bagi perilaku pengikut Parmalim yaitu :
1. Marari Sabtu
Di mana seluruh pengikut Parmalim di manapun mereka berada haruslah melaksanakan perkumpulan setiap hari Sabtunya dan dilaksanakan di setiap cabang atau rumah parsantian, dalam perkumpulan ini para pengikut parmalim akan diberi poda atau bimbingan untuk lebih tekun dalam menghayati ajaran kepercayaan Parmalim.
2. Martutuaek
Upacara yang dilakukan di rumah umat karena mendapat karunia kelahiran seorang anak ataupun pemberian nama pada anak. Dimana seorang anak yang baru lahir haruslah terlebih dahulu diperkenalkan dengan bumi terutama air yaitu umbul mata air disertai dengan bara api tempat membakar dupa.
3. Mardebata
Upacara yang dilakukan secara individual untuk meminta ampunan atas penyimpangan yang dilakukan dari aturan ajaran kepercayaannya.
4. Pasahat Tondi
Upacara yang dilakukan pada umat yang mengalami duka atau meninggal dunia. Dimana setelah satu bulan pemakaman maka dilakukanlah upacara pasahat tondi atau menghantar roh, dalam upacara ini biasanya dilakukan doa saja, bisa dilakukan dengan sederhana atau besar tergantung pada kemampuan keluarga yang mengalami kemalangan.
5. Mangan Napaet
Upacara berpuasa untuk menebus dosa dan dilaksanakan selama 24 jam penuh pada setiap penghujung tahun kalender batak yaitu pada ari hurung bulan hurung, upacara ini juga dilaksanakan di Bale Partonggoan dan dihadiri oleh seluruh umat Parmalim. Setelah berpuasa selama 24 jam maka tepat tengah hari pukul 12.00 sebelum berbuka dilaksanakanlah mangan napaet, lalu dilakukan perkumpulan di dalam Bale Partonggoan dan dipimpin oleh Ihutan.
Meski berpusat di sebuah dusun kecil Huta Tinggi, namun komunitas pengikut Ugamo malim yang sebagian besar merupakan warga keturunan batak toba dengan daerah asal sekitar Toba habinsaran. Pada tahun 2005 terdapat 36 punguan di seluruh indonesia. Lima tahun sebelumnya, jumlah Punguan Masih 30 dan 4 pungun lainnya masih belum diresmikan (Maruli Tua Siahaan 1995). Menurut Monang Naipospos, diperkirakan terdapat 5000 kepala keluarga penganut Parmalim diseluruh wilayah indonesia. Penyebaran ini erat terkait dengan semangat Manombang, yaitu semangat merantau untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Manombang ini sendiri ditopang oleh pandangan hidup komunitas yang mendorong penerimaan terhadap perkembangan jaman yang baru, asalkan tidak mengorbankan nilai-nilai spritual Batak.
Sikap terbuka terhadap nilai-nilai baru itu yang tampaknya mendorong komunitas ini untuk bisa mengambil posisi harmonis dengan unsur baru semacam negara dan nasionalisme. Alih-alih larut dalam hiruk pikuk politik etnis/tribal hasil liberalisasi politik pasca perang (pemilu 1955), komunitas parmalim memilih merapat pada kekuatan-kekuatan nasionalisme dan pemerintahan republik yang berpusat di Jakarta.
Penerimaan sepenuh hati komunitas Parmalim terhadap keberadaan negara itu ternyata tidak mendapatkan balasan yang setimpal. Negara acapkali tidak tegas melarang praktik-praktik diskriminasi terhadap komunitas ini. Bahkan dalam banyak kasus, negara justru tampil sebagai pihak yang memfasilitasi dan mensponsori terjadinya praktik diskriminasi. Diskriminasi meluas diberbagai aspek kehidupan, yang membuatnya menjadi persoalan multidimensional.
Persoalan multidimensional itu diurai dengan menyingkap pengakuan negara yang setengah hati kepada komunitas ini. Sertifikat inventarisasi yang diberikan negara lewat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan kepada komunitas Parmalim memang memberikan kepastian hukum atas bentuk organisasinya, tetapi pada saat bersamaan sertifikat ini juga cenderung membatasi gerak komunitas ini. Lewat sertifikat tersebut, keberadaan organisasi Parmalim yang secara eksplisit berada dibawah Departemen pendidikan dan kebudayaan membuat komunitas ditempatkan hanya sebagai salah satu unsur kebudayan nasional bukan agama.
Dalam data statistik pemerintah tentang komunitas-komunitas religius, eksistensi komunitas Parmalim di nihilkan. Data-data statistik pemerintah propinsi Sumatera Utara belum pernah menuliskan mereka dalam angka. Penghapusan eksistensi komunitas parmalim dalam data-data resmi yang menjadi rujukan kebijakan membuat aksi penghapusan ini berjalan sistematis. Akibatnya, keberadaan mereka tidak sekedar ditindas dalam angka, tetapi juga dalam perdebatan publik mulai dari dalam pemerintah, masyarakat dan institusi-institusi produsen pengetahuan seperti universitas. Kalaupun eksistensi komunitas ini masih mendapat pengakuan publik, eksistensi mereka dimunculkan sebagai representase keterbelakangan.
Pengakuan bukan sebagai agama kemudian menimbulkan persoalan lain yang lebih pelik. Ritual ajaran Ugamo Malim tidak memiliki makna di depan hukum, sehingga segala upacara yang dilakukan dengan ritual itu tidak memiliki kekuatan hukum, termasuk dalam perkawinan. Tak tercatatnya perkawinan mereka dalam dokumen resmi negara melahirkan konsekuensi lanjutan, surat bukti kewarganegaraan seperti akte kelahiran menjadi sesuatu yang mahal dan eksklusif bagi anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan seperti ini. Bagi warga Parmalim yang bekerja sebagai pegawai negeri atau karyawan swasta, absennya surat nikah dan akte kelahiran ini membuat mereka tidak bisa memperoleh tunjangan anak atau istri.
Ketika beranjak dewasa, persoalan yang dihadapi anak-anak dari keluarga Parmalim akibat identitas religius mereka, terus bersambung. Dibandingkan anak-anak muda lainnya anak-anak muda Parmalim memiliki pilihan pekerjaan yang lebih terbatas. Bila anak-anak muda lainnya bisa memilih bekerja di sektor swasta atau pemerintah, anak-anak muda komunitas ini biasanya hanya fokus mencari pekerjaan di sektor swasta. Beberapa warga Parmalim yang ditemui mengatakan bahwa penggolongan keyakinan mereka sebagai kepercayaan (bukan agama) mempersulit mereka mendapatkan akses yang sama dalam perebutan posisi PNS.
Meski bisa menjalani kehidupan yang relatif tidak bergantung pada negara, warga Parmalim tetap merupakan komunitas religius yang membutuhkan pengakuan publik lebih luas terhadap identitas dan haknya sebagai sebuah komunitas. Terutama bila menyangkut kebutuhan akan ruang fisik untuk tempat ibadah yang aman dan nyaman sebagai konsekuensi perkembangan komunitasnya di tengah keterbatasan dan pluralitas ruang perkotaan, seperti yang dirasakan oleh komunitas Parmalim punguan Medan.
Anthony F. C. Wallace (dalam William A.Haviland 1988;195 - 196) yang mendefinisikan agama sebagai seperangkat upacara yang diberi rasionalisasi mitos yang menggerakkan kekuatan-kekuatan supernatural dengan maksud untuk mencapai atau untuk menghindarkan sesuatu perubahan keadaan manusia atau alam, dimana fungsi upacara keagamaan yang utama adalah untuk mengurangi kegelisahan dan untuk memantapkan kepercayaan kepada diri sendiri, yang penting untuk memelihara keadaan manusia agar tetap siap untuk menghadapi realitas.
Parahnya, kebutuhan akan ruang fisik untuk beribadah yang sudah dirasakan lebih dari satu dekade itu tidak cukup mendapat respon positif dari negara maupun masyarakat sekitar. Karena alasan keterbatasan pengakuan negara, stigma keterbelakangan dan kesan paganisme yang dilekatkan secara kuat pada komunitas ini. Dalam konteks ini alih-alih melindungi kelompok minoritas yang berani mempertaruhkan tertib sosial dengan meminta pemenuhan hak komunitas seperti tempat ibadah. Tak jarang cap kriminal dan pengacau keamanan dilekatkan pada komunitas minoritas Parmalim atas keberanian mereka mengharap berdirinya Bale Parsaktian (tempat ibadah Parmalim).
Persoalan yang dihadapi komunitas ini membuat Raja Marnakkok menilai diskriminasi zaman mutakhir tak ada bedanya dengan masa kolonialisme yang ditentang oleh para pendahulunya. ”Dulu fisik yang sakti, sekarang secara politik”
Raja Ungkap memberi ungkapan : Seandainya semut mati dipijak gajah, tidak dapat dikatakan gajah pemenang. Bila gajah sama gajah bertempur, satu mati, maka yang hidup itulah pemenang. Pengertian ini cukup memberikan dorongan kepada pengikut Parmalim untuk tetap bertahan dalam alam penderitaan yang tidak diinginkan itu sebagai inti pengamalan pengajaran Hamalimon untuk bersikap dalam HASEREPON. Hingga Indonesia merdeka, masih banyak pernyataan dari orang batak sendiri yang menyatakan mahwa Parmalim nalilu (sesat), na so maradat (tidak memiliki etika) dan sipele begu (penyembah berhala). Ternyata sampai saat ini pernyataan itu masih ada. Berdasarkan itu pula masyarakat batak Kristen di jalan Air Bersih Ujung Medan menolak ketika Parmalim hendak mendirikan Parsantian tempat bagi mereka berteduh dengan nyaman dan tenang menyembah kepada Mulajadi Nabolon. Leluhur Parmalim sudah sering terpenjara karena berjuang, karena fitnah dan karena kepentingan kebesaran dan kekuasaan. Walau Parmalim sangat mendambakan kemerdekaan (manjujung baringinna) tidak serta merta menikmati kemerdekaan itu. Parmalim dijajah dan ditindas dinegeri sendiri oleh saudara sendiri. Sudah sejak lama Parmalim menerima ajaran HASEREPON dan HABENGETON untuk tidak sakit hati mendengar semua fitnah yang dilontarkan orang lain. Itulah sebabnya Parmalim tidak pernah menjawab semua tudingan yang dilontarkan kepada mereka dari orang yang mengandalkan kekuasaan dan kebesaran dan yang merasa paling benar dan di jalan Tuhan.
Parmalim memiliki keyakinan bahwa para leluhur tidak ada yang terpenjara dan tertindas karena mencuri, membunuh, memfitnah, menipu, berjinah yang semuanya melanggar etika Hamalimon. Mereka dipenjara dan difitnah atas kebenaran yang diyakini karena menyembah kepada Mulajadi Nabolon yang mereka sebut Debata dan Tuhan tertinggi. Walau Parmalim salama kemerdekaan masih terpenjara dalam arti bukan fisik, harus tetap berpedoman bahwa itu semua terjadi bukan berdasarkan kejahatan. Mereka senatiasa harus berpegang teguh kepada pesan leluhur untuk tidak membalas tindak kebodohan dengan cara bodoh, tindak kejahatan dengan cara yang jahat, fitnah dengan cara memfitnah. Parmalim mendorong untuk cerdas dalam berpikir melalui pemahaman akan ajaran-ajaran dan menyeimbangkan intelektual melalui pendidikan. Dan sudah dilakukan sejak tahun 1939 saat Parmalim mendirikan Parmalim School. Pemikiran parmalim berkembang, sementara pembodohan dan kebodohan masih berkutat sampai sekarang yang mengklaim Parmalim sesat dan tidak diberi ruang.
terima kasih atas tulisan anda...
BalasHapusbiarkanlah kami bahagia dalam tangisan kami...
berikanlah kami penghiburan dalam kesengsaraan kami ini.