Jumat, 04 Juli 2014

RESIKO KEPERCAYAAN

Menyerah tak berarti lemah, kamu cukup kuat melepaskannya. Kamu mungkin teteskan air mata, tapi itu agar hatimu tak terus terluka Aku bersimpuh di depan salib Yesus. Sesekali bahuku berguncang dan dengan lembut ku hapus air mata yang membasahi pipiku. Ada penyesalan yang terlintas setelah sekian tahun lamanya menjalani sebuah persahabatan. Ketika pertama kali aku mengenalnya tak habis-habisnya aku mengagumi kebaikan sahabatku. Perjuanganya untuk menjadi seorang sahabat begitu besar, kata-kata dengan nada yang memohon, air mata yang mengharukan, sapaan yang akrab membuat hati ku luluh. dia mengatakan bahwa dia belum pernah bersahabat dengan siapapun, berjanji untuk senantiasa terbuka, jujur, bahkan bersumpah untuk setia selamanya. Kebaikannya seperti daya magnet yang menarikku untuk menjalin relasi lebih dekat lagi. Namun ternyata semakin aku dekat dengannya, semakin ku lihat kekurangan-kekurangannya. Semakin sering aku merasa disakiti dan dilukai oleh perbuatan dan kata-katanya. Aku kecewa dan sakit hati, dan kedekatan kami pun mulai terkoyak oleh perasaan-perasaan sakit hati, sifat dan sikap kasarnya. Dia sudah berubah, tidak seperti dulu lagi, kataku menghibur diri. Sahabat yang sangat kupercayai ternyata menghianati aku. Semua ini terungkap setelah aku menyelesaikan KPKK (Kursus Persiapan Kaul Kekal). Sejak memulai persahabatan dia telah membohongi aku. Setelah 3,5 tahun terungkap misteri persahabatanya. Menangis, hanya itu yang bisa kulakukan dan terjadi tanpa kusadari. Stres menyelimuti hari-hari ku, seolah tidak ada lagi kehidupan diluar sana. Keterbukaanku untuk menceritakan pengalaman dan hal-hal yang bersifat pribadi justru dipakai sebagai senjata untuk menikamku dari belakang. Ketika relasi berjalan dengan baik, saya merasa aman untuk mempercayakan rahasia-rahasia dan seluruh pengalaman hidupku. Ternyata di daerah rawan inilah sahabat menikamku. Sulit sekali menghapus luka dan dendam yang tersisa. Banyak cara yang sudah kulakukan, supaya mampu menerima kenyataan, ternyata tidak semudah membalik telapak tangan untuk menerima pengalaman pahit ini. Tuhan menginginkan supaya aku lebih sabar dengan diriku dan melihat pengalaman pahit ini sebagai rencana Tuhan untuk mematangkan panggilan hidupku. Sahabat bukalah segalanya. Tidak dinamakan sahabat jika tidak bisa saling mendukung dan memberi perhatian. Ternyata dalam sebuah persahabatan ketika aku percaya kepada sahabatku sekaligus aku harus siap untuk dihianati. Itulah resiko persahabatan. Saya mencintai sahabatku berarti juga siap untuk dilukai dan disakiti. Membuka diri sebagai pribadi menjadikan diriku rentan terhadap setiap perlakuan dan sikap yang tidak kuharapkan. Rasa percaya yang kumiliki membuatku sabar, seolah membiarkan diriku untuk dilukai, di hianati, ditolak, diabaikan. Sampai kapan aku bertahan? Ada orang menasehatiku, “jangan terlalu percaya dengan siapapun, jangan percaya kepada dia, hindari dia”. Kepercayaan selalu mengandung resiko ketidakpastian. Kehidupan persahabatan kami menjadi tidak nyaman ketika rasa saling percaya mulai luntur. Kecurigaan, prasangka, salah paham, bahkan kata-kata kasar merupakan anaka-anak yang dilahirkan oleh ketidakpercayaan. Ketidakpercayaan menjauhkan kami satu sama lain. Perjuangan suka duka dalam perjalanan persahabatan kami bisa dikatakan sia-sia. Berakhir karena ketidakjujuran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar