Jumat, 04 Juli 2014

Pagi Sebelum Malam Tenggelam

Bukit-bukit yang berjajar itu belum beranjak bangun. Selimut kabut dan hawa dingin masih menggelayut membuat rimbunnya dedaunan yang berkerumun pada ranting-ranting pohon cemara. Sesekali bunyi gesekan sayap belalang, jangkrik dan serangga lain terdengar hampir bersamaan lalu lenyap pula secara bersamaan dan meninggalkan pagi yang masih saja sepi. Semalaman perempuan itu tidak bisa tidur sama sekali. Rasa kantuk barang sekejap pun tak mampir karena penatnya pikiran dan hati yang menanggung beban. Sesekali dia menghela nafas panjang. Keresahannya menggumpal jauh sebelum kabut datang menyelimuti malam demi malam. Bayangan seorang sahabat menghampiri dan meremas hatinya hingga pedih, ngilu, sesak, serupa kerikil tajam yang terus merajamnya. Hingga ayam berkokok pertama pun dia masih belum tidur. Kadang kepalanya menengadah, matanya menatap sendu batang, dahan, cabang, ranting pohon cemara yang mirip tangan-tangan penyangga gelapnya kehidupan. Yaaa,,,, gelapnya perjalanan persahabatan yang setiap malam dia daraskan dalam doa-doa. Ingatan masa lalu, Februari 2010. Lantunan lagu dari Arfindo”Simalolongku do marnida ho, alai rohakku sai holsoan...” kejadian itu mengawali kisah yang menjadi sebuah sejarah. Perjalanan itu sudah lama, dan tidak sedikit pengalaman suka duka yang dialami. Haruskah semua kenangan masuk dalam jajaran waktu yang terhapus (The erased time), karena ketidakjujuran??? Kenangan akan kasih yang tersimpan begitu tersembunyi, tercium di bukit tempat bersemedi. Perempuan itu hanya terhenyak, sebuah tanya besar menghantan hatinya hingga pecah berdarah. “Salahkah? Salahkah bersikap sebagai seorang sahabat? Apa artiku hidup?” Tanya itu memantul di dinding bukit untuk kembali lagi padanya. Tanya itu menjadi ribuan anak panah yang terus-menerus menghujam, tangan kirinya mendekap dada seperti hendak masuk ke dalam ulu hati untuk menyeka agar perih sedikit terhenti, Sementara tangan kanannya melambai, memanggil yang tak terpanggil, menggapai yang tak tergapai. Ketika semua orang sedang istirahat, dia pergi ke tempat yang sepi. Dia pergi ke Gua Maria. Di sana dia duduk dan diam. Dia sama sekali tidak berdoa sebagaimana orang-orang yang datang berziarah di tempat itu. Dia justru asyik mendengarkan kicauan burung. Pertanyaan tentang apa arti hidup tiba-tiba kembali melintas. Dia berusaha menepis, mengusirnya pergi. Namun, pertanyaan itu seperti berubah menjadi monster kuat yang terus mengejarnya. “Apa artiku hidup? Apa arti sahabat?” Logikanya bergerak. “Mengapa pertanyaan itu terus datang dan datang? Apa yang mengawali semuanya ini?” Persahabatan. Ya… persahabatan itulah awalnya. Persahabatan yang berakhir setelah sekian lama dijalani. Satu-satunya alasan yang dikatakan adalah dia merasa tidak pernah mendapat dukungan. Perempuan tersebut mengetahui bahwa alasan itu hanya rekayasa. Ketika perempuan itu membaca SMS darinya, dia langsung merasa lemas. Dunianya berubah menjadi gelap. Perasaan marah, kecewa, sakit hati, tak percaya, dan tak mengerti semua bergulung menjadi satu menjadi perasaan yang aneh yang membuatnya kehilangan kontrol diri. Air mata mengalir tanpa disadari. Dia merasa hidupnya tak berarti. Waktu bertahun-tahun dilalui seperti mimpi yang berlalu dalam sekejap tanpa arti, kenangan bersamanya seperti bohlam yang terlepas dari tempatnya dan jatuh berkeping-keping saat menyentuh lantai dan membuat ruang kehidupannya saat itu gelap gulita. Serpih-serpih kaca itu menjadi kenangan yang membuat luka setiap langkahnya. Tiba-tiba dia teringat akan pesan ibunya ”semoga hari mu indah, jangan pernah membiarkan satu detik pun tertinggal tanpa arti. Sambil tersenyum-senyum karena merasakan betapa bodohnya apa yang dia pikirkan dan rasakan, dia segera bangkit dan memulai hidup yang baru. Peristiwa sederhana itu telah menumbuhkan monster di kepalanya yang terus berteriak dan bertanya menuntut jawaban. Sahabat itu telah membuat dia sibuk berpikir tentang arti hidupnya. Pesan ibunya membuatnya sadar akan makna dari sebuah peristiwa. Sahabat itu membuat dia bertanya dan bahkan mengusik. Sahabat itu menjadi berarti baginya ketika mampu membuatnya bertanya mengenai arti hidup. Dia menyadari, ternyata selama ini dia salah dalam mencari arti persahabatan. Dia salah karena dia mencari arti hidup dalam dirinya sendiri dan tidak mencarinya di luar dirinya. Jika peristiwa sederhana menjadi bermakna, mengapa dia tidak mencari peristiwa-peristiwa sederhana lainnya untuk dia amati? Mungkin dari peristiwa sederhana lainnya dapat diperoleh makna yang lain. Perempuan itu berdiri dan berjalan ke depan patung Bunda Maria. Dia menyalakan lilin kecil, dan berdoa. “Ya Allahku, ya Bunda Maria, adakah ini sebuah perjuangan? Ketika rinduku tak lagi tertahankan, namun seperti angin lalu ketika aku ungkapkan. Bunda Maria, aku ini hamba Tuhan. Sungguh ingin dikuasai sepenuhnya oleh kasih-Nya, maka Dia akan mengenal diriku sendiri. Hanya di dalam terang-Nya aku mampu melihat diriku sendiri apa adanya. Tanpa terangNya, aku tak mampu melihat apapun. Hanya dengan membiarkan diriku dikuasai oleh terang Allah, maka aku akan melihat seluruh cacat cela diriku, ketidakmampuanku, ketidakberdayaanku. Hanya menjadi hamba, maka aku akan mampu berkata seperti dirimu. “Viat voluntas tua.” Bunda maria, aku tahu engkau akan membantuku untuk mengerti akan diriku. Engkau mengajariku dengan perkataan dan perbuatan dengan sikapmu yang rendah hati. Adakah yang salah jika aku bertanya tentang arti hidup dalam persahabatan? Terjadilah padaku seturut perkataanMu, dan aku menetapi perkataanku untuk tidak mengeluh, untuk tidak lari, dan bersembunyi meski Kau buat hati ini tertatih dijalan menuju bukit yang menjanjikan kebahagiaan. Aku hanya ingin menjadi perempuan sederhana namun dapat merasakan kebahagiaan. Amin.” Hidup ini seperti pusaran air yang akhirnya harus mengalir. Tak perlu memiliki tapi harus membasahi. Tak perlu menuntut arti tetapi harus menghidupi. Persahabatan menuntut orang-orang yang terlibat di dalamnya agar bersikap otentik terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain yang di uji dalam perjalanan waktu. Persahabatan itu telah teruji dan runtuh begitu pihak-pihak yang terlibat di dalamnya menunjukkan ketidakjujuran. Matahari bersinar menerobos melalui sela-sela daun cemara yang rindang. Sinar itu membuat butiran air mata yang sedari tadi meleleh di kedua pipi perempuan itu berkilau. Dari balik cahaya itu muncul setitik warna merah dan terus semakin merah. Warna merah itu berubah dalam bentuk mawar merah. Mawar merah yang indah yang tumbuh di sekeliling Gua Maria Nagahuta. Tiorry Tanjung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar