Kamis, 11 September 2014
DISUDUT KEGELAPAN
Sudah sejak sore perempuan itu terlihat gelisah. Tak jarang ia melihat keluar seperti ada seseorang yang di tunggu kedatanganya. Tidak ada yang berani menggangu kesendiriannya. Buku Psikologi Klinis yang sedari tadi terbuka dihadapannya belum juga dibaca. Padahal besok akan ujian semester. Dia tidak mau tahu apa yang akan terjadi besok. Perempuan itu sibuk dengan pikirannya sendiri. Menangis..... ya… ya… dia menangis. Perempuan itu tidak mengerti mengapa orang yang dipercaya selama ini bisa bersikap seperti itu. Dia tidak pernah mengharapkan jawaban yang membuat hatinya makin hancur.
Keraguan menyelimuti hatinya dalam melanjutkan perjalanan panggilan hidup yang sedang ia jalani. Pengembaraan itu serasa tak bermakna, entah dari mana kejenuhan itu datang dan hinggap pada dirinya, bukan karena ia menginginkannya namun demikianlah yang dialami saat itu, perasaan hampa yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Keadaan hidup komunitas yang kurang nyaman membuat hatinya bertanya untuk apa dan sampai kapan? Ia membutuhkan seseorang yang mampu mendengarkan dan mengerti apa yang ia rasakan.
Sahabat, mungkin hanya seorang sahabat yang mampu mengerti apa yang menjadi pergulatan hidupnya. Perempuan itu meraih telepon genggam yang terletak tidak jauh dari tempat ia duduk. Dicarinya nama kontak yang hendak dia hubungi. My Dear…. Nama kontaknya my dear….dengan mudah ditekannya tanda call, itu tidak terlalu sulit karena sudah terbiasa dilakukannya. Panggilan pun diterima dari seberang sana…. Tanpa banyak basa-basi perempuan itu menceritakan permasalahan yang dialami, dirasakan yang membuat hatinya bingung……
Ggggrrrrrrrrrrrrrr……. serasa suara petir di siang hari yang hendak mencabut nyawanya… suaranya makin pelan hingga tidak kedengaran lagi, airmatanya kembali membasahi pipinya yang sudah sempat kering. Menyesal, mengapa dia mencurahkan isi hatinya kepada sahabatnya. Seperti itu kah tanggapan seorang sahabat yang selama ini dia percayai. Ketika perempuan itu menceritakan keraguan yang dialami, orang yang ia anggap sebagai sahabat menanggapi dengan bahasa yang kurang enak didengar saat situasi batin sedang kacau. “jika kamu ingin keluar terserah, tidak ada yang bisa saya katakan, karena jika saat ini kamu mengalami keraguaan suatu saat pasti akan keluar juga”. Itulah ungkapan yang disampaikan oleh seorang sahabat. Perempuan itu merasakan bahwa itu merupakan sebuah tamparan yang sangat sakit yang belum pernah ia rasakan.
Malam semakin larut… namun tidak sedikitpun ada niat untuk membaringkan raganya yang sudah lemah. Matanya tidak akan bisa terpejamkan, pikirannya masih melayang jauh meninggalkan dirinya. Entah sudah sampai dimana jiwanya melanglang buana. Tuhan, dimanakah kamu saat aku membutuhkan kehadiran-Mu? Mengapa semua orang menjauh. Bahkan sahabat yang saya percayai tidak perduli dengan apa yang saya alami. Mungkinkah aku tak berarti lagi dalam hidupnya, mengapa dia selalu memandangku dengan sebelah mata. Dia bukan yang ku kenal dulu… dia telah berubah….
Disudut kegelapan hatinya, perempuan itu memandang salib Yesus yang tergantung di dinding kamarnya. Pengalaman itu mengingatkan dia bahwa Yesus adalah sahabat yang sejati yang tidak akan pernah mengecewakan sekalipun ia kerap meninggalkan Yesus. Yesus selalu memberikan penghiburan dan sukacita. Bersahabat dengan manusia kerap membuat hati terluka karena manusia bukan malaikat akan tetapi seseorang yang mempunyai kepribadian yang rapuh. Tidak ada manusia yang sempurna.
Tuhan dengan sabar sedang menunggunya dengan hadiah yang lebih berharga sementara selama ini ia memeluk sahabatnya yang dianggapnya paling berharga dan dapat membuat dia bahagia. Sahabat menambah luka. Ketika Tuhan memberikan cobaan ia pun protes. Perempuan itu mengingat refleksi dari Margareth yang memampukan dirinya melihat kehadiran Tuhan dalam segala pergolakan hidupnya.
Margareth Fishback merefleksikan dan memaknai kepahitan-kepahitan hidupnya dalam puisinya yang berjudul Footsprints (jejak-jejak kaki):
Suatu malam aku bermimpi,
Menyusuri pasir pantai bersama Tuhanku,
Melintas dari pekatnya langit, muncullah berpijaran adegan-adegan hidupku,
Setiap adegan selalu kulihat ada sepasang jejak kaki di pasir,
Satu milikku, satunya lagi milik Tuhanku.
Ketika adegan terakhir muncul, kulihat lagi jejak-jejak kaki di pasir,
namun hanya ada sepasang saja,
aku teringat dan sadar betul….
Itulah saat paling sedih dalam hidupku,
Saat itu aku begitu dalam terjerumus…
Gambar itu terus mengusik kalbuku,
Terus menghantuiku,
Sampai akhirnya ku beranikan diri
Bertanya kepada Tuhanku;
Apa makna dari dilema ini.
Tuhan saat kuputuskan,
tuk mengikuti Mu,
Bukankah Kau bilang.
Kau akan jalan bersama ku,
Jadi teman bicaraku sepanjang jalan?
Tetapi kenapa disaat-saat tersulit hidupku,
Justru kulihat hanya sepasang jejak kaki?
Aku bingung Tuhan, benar-benar bingung…
Mengapa disaat-saat aku sangat membutuhkan-Mu,
Justru kau tinggalkan aku seorang diri…?
Lembut Tuhan berbisik padaku;
Anakku tersayang, engkau begitu berharga…
Aku begitu mencintai mu…
Tak akan pernah aku akan meninggalkanmu…
Tak akan pernah selamanya…
Apalagi ditengah pencobaan dan ujianmu…
Kalau kamu melihat hanya ada sepasang jejak kaki
Itulah saat-saat tersulit hidupmu…
Saat-saat itulah justru aku mengangkatmu,
Kupanggul…
Kugendong kau di pundakku….
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar