Minggu Biasa XXIII
Keb 9:13-18; Flm 9b-10.12-17; Lk 14: 25-33
Yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku
Kalau seseorang ingin melamar kerja, mau jadi pegawai negeri, kepala desa, mahasiswa, anggota sebuah organisasi, bahkan untuk menjadi frater atau suster, kepada pelamar pertama-tama akan disodorkan formulir berisikan sejumlah persyaratan yang mesti dipenuhi. Misalnya: usia, tinggi badan, pendidikan, pengalaman kerja, tempat tinggal, status, jenis kelamin, penghasilan dll. Kriteria yang dituntut bervariasi, tergantung dari tujuan yang mau dicapai organisasi atau instansi tersebut. Jelas akan sangat berbeda persyaratan untuk menjadi kepala desa dengan mahasiswa, apalagi menjadi suster. Di atas kertas, hanya mereka yang menyanggupi kriteria tersebut akan lolos seleksi. Kenyataan memang sering berkata lain. Di negeri kita ini semua bisa disulap dan ditukangi sampai seorang tukang mesti sanggup membuat meja bulat segi empat atau segitiga. Ijazah SMA atau SD pun dapat diproses menjadi Sarjana bahkan master. Dalam kondisi yang sedemikian korup dan kacau, kriteria dan persyaratan kerap tinggal dokumen tertulis, sementara kenyataan jauh panggang dari api. Ternyata sejumlah caleg diadili karena terbukti memalsukan dokumen. Pengurus Gereja juga bisa memberi kesaksian yang kurang terpuji, supaya familinya dapat melangsungkan perkawinan kendati tidak pernah hadir di Gereja apalagi membayar segala kewajiban.
Kutipan Injil pada hari Minggu ini bagi telinga kita terasa terlalu keras, kalau tidak dipahami dengan baik. Rasanya Biara kita ini pun akan kosong dan saya juga tak akan berani berdiri di depan ini, kalau perkataan Yesus tidak dimengerti dengan tepat. Yesus memasang harga mati dan kriteria yang tak bisa ditawar-tawar bagi mereka yang ingin menjadi murid-Nya. Waktu itu banyak orang mengikuti Yesus, dikatakan berduyun-duyun. Mereka tertarik dengan popularitas yang dimiliki Yesus. Yesus mendapat tempat di setiap hati, menjadi buah bibir semua orang, disambut di mana-mana, dikagumi karena banyak tanda heran. Orang banyak itu tertarik karena ada udang di balik batu, siapa tahu kecipratan sesuatu dari kebesaran nama Yesus. Budaya dan mentalitas mumpungisme, nompang tenar entah hanya sebatas jadi murid. Cara penggabungan diri dengan motivasi yang kurang murni dan dangkal. Belum kenal sudah bilang sayang. Sebab, “ada uang abang disayang; ludes uang, abang pun melayang”.
Yesus berkata, “Jika seseorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudanya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku. Barang siapa tidak memikul salibnya dan mengikuti Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku. Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku”. Apakah Yesus memberi suatu kriteria yang bertentangan dengan kaidah normal hidup manusia. Sudah dari Perjanjian Lama, Allah memberi perintah menghormati ibu-bapa. Pada bagian lain pengajaran-Nya, Yesus sendiri sangat menekankan sikap hormat dalam keluarga, dan saling mengasihi sebagai saudara dan saudari.
Bukan kebencian yang mau ditanamkan Yesus, melainkan supaya para pengikut-Nya tahu apa yang lebih penting dan utama dalam kehidupannya sebagai murid Kristus. Barangkali kita akan sangat terbantu untuk memahaminya dengan ungkapan Mateus yang bernada sama, “Barangsiapa mengasihi bapa, ibu, anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku”. Pada bagian lain ditambahkan keharusan menyangkal diri dan memikul salib. Di sini kita sampai pada persoalan mengenai prioritas dan skala nilai dalam hidup. Dari mereka yang mau mengikuti-Nya, Yesus menuntut cinta melebihi cinta kepada semua orang yang disayangi dan segala milik. Maka sebelum memutuskan menjadi pengikut Yesus, sangat baik merenungkan tuntutan menjadi dan konsekuensi menjadi murid Yesus. Pikir dulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna.
Barangkali ketika Yesus mengucapkan kata-kata ini (atau waktu Lukas menuliskan Injilnya) banyak orang tidak lagi menyadari keseriusan dan radikalnya ajakan Yesus. Mereka menyangka bahwa dengan mengikuti Yesus, yang adalah Mesias, mereka akan meraup sejumlah besar keuntungan. Mereka tidak siap untuk menerima salib. Atau mungkin mereka mengira bahwa mengikuti Yesus itu memang penting, tetapi tidak harus sampai mengurbankan segala sesuatu. Yesus mengingatkan kembali konsekuensi dari setiap pilihan.
Kita juga mesti menjatuhkan pilihan dan melaksanakan tuntuntuan dari pilihan. Namun sering kita sadar bahwa ada sesuatu yang lebih penting, tetapi kita kerap mengorbankan yang lebih penting untuk sesuatu yang kurang penting. Untuk beriman dengan teguh, kita tahu harus selalu mengurbankan yang lain. Tetapi kesalahan yang sama tetap terulang. Manusia kerap lebih bodoh dari keledai yang tak pernah jatuh dalam jurang yang sama. Pertemuan persaudaraan, retret, menghadiri pesta kaul kekal, doa bersama dan makan bersama kita tahu sebagai sesuatu yang penting, tetapi kita menempatkannya pada posisi terakhir. Kita mendahulukan yang lain hingga akhirnya kita kerap mengalami kekeringan hidup, krisis panggilan dan akhirnya meninggalkan panggilan hidup yang sudah lama dijalani atau diperjuangkan. Pada hal panggilan itu sangat berharga. Panggilan itu sangat mahal.
Memilih dan memutuskan menjadi pengikut Kristus bukanlah perkara sederhana. Konsekuensinya kerap begitu berat, kalau mau menjadi murid yang sejati dan tangguh serta setia. Untuk lebih menjelaskan maksud ini, Yesus menggunakan dua perbandingan: orang yang mau membangun menara dan raja yang mau berperang. Baik orang yang mau mendirikan menara maupun raja yang hendak mengadakan perang harus terlebih dahulu membuat kalkulasi dan perhitungan yang cermat agar jangan tersendat di tengah jalan. Segala sesuatu harus diperhitungkan semenjak awal, kalau tidak mau menjadi bahan tertawaan orang lain, atau mundur di tengah jalan. Demikian orang yang mau mengikuti Yesus, pertama-tama harus mengadakan perhitungan apakah ia sanggup untuk mengikuti Kristus hingga akhir dengan setia. Yesus tidak menghendaki orang yang suam-suam kuku, setengah-setengah hati, tidak dingin atau tidak panas, menurut kata Paulus. Tuntutan untuk menjadi pengikut Kristus bukanlah perkara sederhana. Tidak cukup dokumen surat permandian, surat persetujuan orang tua dan pastor paroki. Orang mesti berani kehilangan segala sesuatu, mengutamakan Kristus di atas segala-galanya. Orang-orang kristen perdana mengalami secara konkrit penganiayaan, pengejaran, penyiksaan bahkan kemartiran dengan menumpahkan darah sebagai perwujudan kesetiaan mereka pada Kristus. Sejarah memperlihatkan bagaimana sejumlah orang kudus, kendati mesti menghadapi aneka tantangan dan kesulitan, mempertahankan dan membela keyakinan mereka dengan teguh.
Iman akan Kristus menduduki peran yang amat penting dan tak bisa dibandingkan dengan perkerjaan lain, hobbi, memancing, piknik atau ribuan kegiatan lain. Iman adalah perkara yang serius, dan untuk itu orang mesti berani dan siap mempertaruhkan segala sesuatu dan mengutamakannya. Pertanyaan bagi kita ialah apakah bagi kita menjadi pengikut Kristus merupakan suatu nilai luhur yang kita bela? Apakah tujuan kita menjadi seorang biarawati atau suster. Apakah karena tuntutan sosial? Adalah baik bagi kita semua baik yang masih profesi sementara maupun kekal untuk kembali melihat motivasi kita. Karena itu, beranikah kita mengorbankan waktu, kenikmatan dan selera pribadi untuk semakin memupuk iman kita akan Yesus Kristus? Bukan kuantitas tetapi kualitaslah yang penting. Iman akan Kristus mesti menjadi sesuatu yang serius dalam hidup kita untuk disebut seorang murid dan pengikut Kristus yang sejati. Iman akan Kristus mesti menjadi sesuatu yang serius dalam hidup kita untuk disebut seorang biarawati atau suster dan pengikut Kristus yang sejati. Selamat Merenung. Amen....!!!!!!!..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar